Bismillahirrahmanirrahim
Pada
kesempatan ini, ijinkan saya memuat tulisan sederhana ini. Sebenarnya niat untuk
menulis sudah sangat lama terpikirkan, mungkin baru akhir-akhir ini muncul lagi
dorongan yang kuat ditambah keinginan untuk berbagi keilmuan yang sedang saya
geluti ini. Yup, saya merupakan lulusan Sarjana Teknik Sipil, dan sekarang
aktif bekerja sebagai seorang Engineer
atau kata kerennya ”Structural Engineer” pada
sebuah perusahaan konsultan perencana di Yogyakarta. Walaupun masih dikatakan
Junior dengan pengalaman setahun bekerja, namun banyak hal yang sudah saya
dapatkan, dan tentu saja saya ingin sekali berbagi apa-apa yang bisa saya
bagikan yang tentu saja tidak saya dapatkan sewaktu dibangku kuliah, semoga
melalui blog ini dan tulisan-tulisan saya disini bisa bermanfaat bagi pembaca
sekalian. Kedepannya, Insya Allah saya akan sering membagi sedikit demi sedikit
tulisan-tulisan saya disini.
Kali
ini saya ingin mengulas mengenai salah satu produk peraturan perencanaan yang
digunakan oleh para perencana/Engineers
di Indonesia dalam mendesain bangunan-bangunan gedung, tapi kali ini kita akan
khusus membahas mengenai kombinasi pembebanan saja.
SNI
atau Standar Nasional Indonesia dengan nomor 1726 tahun 2012, merupakan standar
yang mengatur perencanaan ketahanan gempa pada bangunan gedung yang
mengadopsi peraturan luar ASCE (American
Society of Civil Engineers) 7-10. Bisa dikatakan semua yang terdapat pada
peraturan SNI 1726 2012 ini adalah hasil translate dari peraturan luar tersebut. Tentu
tidak semua yang terdapat dalam ASCE 7-10 kemudian diterjemahkan kedalam
peraturan SNI 1726 2012 ini, melainkan sebagian pada peraturan luar tersebut di
terbitkan dalam bentuk peratuan pembebanan gedung baru sebagai SNI 1727 2013
pengganti PPURG (Pedoman Perencanaan Pembebanan Untuk Rumah dan Gedung) yang
dikeluarkan pada tahun 1987. Perbedaan kedua peraturan pembebanan ini mungkin
akan lebih baik dibahas dalam tulisan yang lain.
ASCE
7-10 dengan judul kerennya “Minimum Design Loads for Buildings and
Other Structures” merupakan standar yang dikeluarkan dan digunakan di
United States of America. Peraturan/Code dengan
253 halaman ini, sesuai dengan namanya menjabarkan semua jenis beban dan tata
cara/aturan-aturan penggunaannya mulai dari beban mati, beban hidup, beban
banjir, beban hujan, sampai beban gempa dengan rinci dijelaskan dalam code tersebut.
Salah
satu pasal yang dibahas dalam peraturan
(codes) diatas adalah mengenai kombinasi pembebanan yang digunakan dalam
tahapan analisis perencanaan gedung-gedung bertingkat. Umumnya beban yang
digunakan dalam perencanaan berupa beban mati (D),beban hidup (L), dan beban
gempa (E). Selain itu dalam ASCE 7-10 ini membagi kombinasi pembebanan menjadi
dua yaitu metode ultimit (kombinasi beban terfaktor)
dan metode ijin (kombinasi tegangan izin).
*Istilah
metode Ultimite ini terdapat dalam SNI 2726 2012, kalau dalam ASCE 7-10
menyebutnya sebagai Factor Load Strength
Design, dimana dalam kombinasinya menggunakan tambahan nilai faktor.
1. Kombinasi
beban untuk metode ultimit/beban terfaktor
ASCE
7-10 à
Lihat bab 2
pasal 2.3 hal 7
SNI
1726 2012 à
Lihat Pasal
4.2.2 hal 15
SNI
1727 2013 à
Lihat Pasal 2.3
hal 11
Komponen
elemen struktur dan fondasi harus dirancang hingga kuat rencananya sama atau
melebihi pengaruh beban-beban terfaktor berikut.
1) 1,4D
2) 1,2D
+ 1,6L + 0,5(Lr atau R)
3) 1,2D
+ 1,6(Lr atau R) + (L atau 0,5W)
4) 1,2D
+ 1,0W + L + 0,5(Lr atau R)
5) 1,2D
+ 1,0E + L
6) 0,9D
+ 1,0W
7) 0,9D
+ 1,0E
2. Kombinasi
beban untuk metode ijin/tegangan ijin
ASCE
7-10 à
Lihat bab 2
pasal 2.4 hal 8
SNI
1726 2012 à
Lihat Pasal
4.2.3 hal 16
SNI
1727 2013 à
Lihat Pasal 2.4
hal 13
1) D
2) D
+ L
3) D
+ (Lr atau R)
4) D
+ 0,75L + 0,75(Lr atau R)
5) D
+ (0,6W atau 0,7E)
6) D
+ 0,75(0,6W atau 0,7E) + 0,75L + 0,75(Lr atau R)
7) 0,6D
+ 0,6W
8) 0,6D
+ 0,7E
Dari
kedua metode tersebut diatas, yang lebih familiar
digunakan oleh banyak perencana kita adalah metode ultimit/beban terfaktor,
Entah kenapa, saya belum menemukan ada yang menggunakan metode tegangan izin (Allowable Stress Design). Jadi, disini
saya akan menjelaskan atau menjabarkan mengenai kombinasi beban pada metode 1
yang terdapat pada peraturan-peraturan diatas.
Jika
kita lihat kembali pada ketujuh kombinasi beban tersebut terdapat kode D, L, Lr,
R,E, dan W. Apa yang dimaksudkan oleh masing-masing kode itu? Apakah harus
menggunakan semuanya? Baiklah kita tela’ah satu persatu.
Penjelasan
mengenai kode beban itu dapat dilihat pada ASCE 7-10 atau pada SNI 1727 2013
bab 2.2. Merujuk pada kedua peraturan itu disebutkan bahwa:
1) “D”
merujuk pada kata “Dead Load”, yaitu
semua beban yang menempel/menetap pada bangunan/struktur. Seabagai contoh jika
kita punya balok beton bertulang ukuran 40x60 cm dengan panjang 6m dan berat
jenis di ambil 2.4 Ton/m3 maka balok tersebut memiliki berat atau
beban mati sebesar 0,4 x 0,6 x 6 x 2,4 = 3.456 Ton atau 3456 kg. Beban ini
kemudian akan kita kategorikan sebagai beban mati (Dead Load) dalam perhitungan selanjutnya.
Selain itu juga ada
beban Additional Dead Load (ADL) yang
merupakan bagian dari beban mati tetapi perlu kita bedakan dengan beban mati (Dead Load) di atas. Kenapa dibedakan?
Ya, tentu karena ketika dalam SAP/Etabs yang dimodelkan hanya model struktur
balok/kolom/pelat dimana kesemua itu akan menjadi beban mati sendiri (selfweight) yang dihitung otomoatis oleh
SAP/Etabs. Sedangkan beban mati tambahan (additional
dead load) yang tidak dimodelkan perlu kita definisikan tersendiri. Yang
dimaksud dengan beban tambahan disini seperti beban finishing lantai
(pasir,mortar, tegel) atau beban lainnya diluar struktur utama yang menempel
menjadi satu dengan gedung tersebut.
2) “L”
merupakan “Live Load”, yaitu semua
beban bergerak sesuai fungsi kebutuhan ruangan tersebut. Nah, salah satu
perbedaan pertauran pembebanan lama PPURG dan peraturan baru SNI 1727 2013 atau
ASCE 7-10 adalah pada penentuan beban hidup ini. Pada peraturan lama perencana
hanya perlu mengetahui fungsi bangunan secara keseluruhan, misalnya bangunan
perkuliahan, maka semua beban hidup pada bangunan akan dibuat sama sesuai
fungsi gedung itu. Berbeda dengan peraturan baru, maka pemberian beban hidup
akan lebih diperinci kepada fungsi ruang yang digunakan. Hal ini tentu akan
lebih baik, karena dalam sebuah gedung perkuliahan, tentu tidak semua ruang
atau area adalah ruang kuliah, melainkan terdapat ruang-ruang lain guna
menunjang fungsi bangunan tersebeut secara keseluruhan seperti adanya ruang
kantor untuk dosen, karyawan, adanya area selasar, ruang gudang, ruang
perpustakaan, dan lain sebagainya. Bayangkan saja jika semua ruangan itu
disamakan sebagai ruang kuliah, maka apabila terdapat ruang perpustakaan atau
ruang pertemuan yang memiliki beban hidup lebih tinggi tentu akan tidak aman
bukan?
Berikut saya lampirkan perbedaanya.
Beban Ruang Kuliah (dalam peraturan disebut ruang
Kelas)
Beban
hidup pada ruang kelas mengacu pada peraturan diatas adalah sebesar 40 psf atau
1,92 kN/m2.
Sekarang
kita bandingkan dengan ruang pertemuan.
Terlihat
jelas kan perbedaannya? Ya, itulah mengapa menggunakan peraturan terbaru ini
akan lebih rinci dan detail sesuai fungsi ruang/area yang akan digunakan
nantinya.
3) Lr
= “Roof Live Load”, Beban atap, sama
halnya seperti beban hidup, beban atap ini adalah beban yang akan berada pada
atap. Tidak semua bangunan memiliki atap yang sama, ada yang menggunakan atap
berbentuk seperti limasan yang tentu dengan beban perencanaan kuda-kuda dan
sebagainya, namun ada juga yang memfungsikan atapnya sebagai dak dengan pelat
beton dengan tujuan dimanfaatkan sebagai area taman atau lainnya sesuai
keinginan owner/user.
4) R
= “rain load”, atau beban hujan
merupakan beban yang akan digunakan dalam perencanaan atap. Sebenarnya beban
hujan ini biasanya bisa diabaikan karena pengaruhnya yang tidak terlalu
signifikan terhadap struktur beton. Biasanya akan digunakan pada perencanaan
atap atau bagian yang lain yang rentan terhadap pengaruh beban air hujan.
5) W
= “wind load”, atau beban angin, nah
beban ini emang sangat perlu diperhatikan secara khusus, apalagi pada daerah
yang memiliki potensi angin yang sangat kuat, maka struktur langsing seperti
baja terutama pada atap perlu dipertimbangkan. Banguan dengan material beton
mungkin tidak akan terlalu signifikan terhadap beban yang satu ini, tetapi
bangunan dengan struktur baja atau bangunan dengan ketinggian yang sangat
tinggi (dimana semakin tinggi maka kecepatan angin akan sangat kuat) perlu pertimbangan
khusus terhadap beban ini.
6) E
= “Earthquake Load”, This is, beban
yang potensi nya sangat besar dan berpengaruh di negara kita Indonesia. Yup,
tentu saja negara kita yang dikelilingi oleh cincin api, pertemuan lempeng
dunia, dan banyaknya sesar-sesar aktif bertebaran semakin menambah
resiko/kerentanan terhadap kejadian gempa. Dengan terbitnya peta gempa terbaru
yang dirilis tahun 2017 kemarin membuktikan bahwa kerentanan gempa di negara
kita semakin besar dengan banyaknya sesar aktif baru yang ditemukan. Oya, pada
SNI 1726 2012 ini masih mengacu pada peta gempa 2010, sedangkan peta gempa 2017
ini sudah dimuat pada rancangan SNI terbaru atau RSNI2 1726 201X sebagai
pengganti SNI 1726 2012 yang lama. RSNI yang baru ini akan lebih update
terhadap peraturan utamanya yaitu ASCE 7-16, angka 16 menunjukkan tahun
dirilisnya peraturan ini sebagai pengganti ASCE 7-10. Mungkin, dilain
kesempatan perlu juga dibahas mengenai rancangan SNI yang baru ini. Wait…Saya pelajari dulu ya hehe. Soalnya
banyak banget klien yang bertanya-tanya apakah bangunan lama yang sudah
dirancang dan dibangun dengan peraturan lama masih mampu atau aman dengan
peraturan baru? Hmm… tentu menarik, perlu dikaji lebih lagi letak perbedaannya
dimana saja dan apa pengaruhnya, signifikankah? Jika ternyata signifikan
berbeda dan bangunan sudah berdiri, terus apa solusi yang harus diambil? Okay
pertanyaan ini tentu tidak bisa dijawab sekarang, perlu dikaji dan ditelaah.
Namun menurut hemat saya, pengaruh yang sangat signifikan mungkin akan terjadi
pada wilayah/area yang memiliki dampak dari peta gempa cukup besar, karena
tidak semua wilayah di Indonesia ini terkena dampak dari perubahan peta gempa
itu loh.. coba saja dicek dan dibandingkan nilai percepatan gempanya terus
dibuat kajian khusus, pasti menarik dan bermanfaat. Nah yang ini bagus banget
buat kalian yang bingung mikirin judul Tugas Akhir/Skripsi hehe, bisa dijadikan
rujukan kan hehe.
Oke…
cukuplah panjang lebar penjelasan diatas sampai lupa kalau kita sedang khusus
membahas kombinasi beban pada peraturan SNI 1726 2012 atau ASCE 7-10 ini hehe.
Sesuai
penjelasan diatas, kini kita bisa ketahui bahwa beban yang umum digunakan dalam
perencaaan gedung bertingkat untuk struktur beton di negara kita ini adalah
beban mati (D), beban hidup (L), dan beban gempa (E). Sehingga kombinasi dari
ketiganya perlu dijabarkan lagi sesuai aturan yang berlaku.
Let’s check again and
checklist it.
Kombinasi Dasar:
1) 1,4D
√
2) 1,2D
+ 1,6L + 0,5(Lr atau R) √
3) 1,2D
+ 1,6(Lr atau R) + (L atau 0,5W)
4) 1,2D
+ 1,0W + L + 0,5(Lr atau R)
5) 1,2D
+ 1,0E + L √
6) 0,9D
+ 1,0W
7) 0,9D
+ 1,0E √
Kenapa saya beri tanda √ ,
karena yang nggak di checklist telah
tereleminasi oleh kombinasi yang saya checklist.
Kenapa demikian? Berikut kira-kira penjelasanya
·
Kombinasi Beban Mati à :
diambil sebagai kombinasi untuk beban mati sendiri tanpa ada pengaruh beban
lainnya dengan faktor beban sebesar 1,4 yaitu poin no 1)
Comb 1 = 1,4D
Poin
no 9) juga jika diabaikan faktor beban anginnya (W) maka juga menjadi beban
mati sendiri, namun karena diambil yang terbesar maka kombinasi yang diambil
adalah tetap pada poin no 1)
·
Kombinasi beban Mati + beban Hidup : merupakan kombinasi dari beban mati dan beban
hidup, sedangkan beban roof, hujan dan angin bisa diabaikan karena hanya digunakan
pada perencanaan atap. Sehingga dari kombinasi dasar poin no 2), 3) dan 4) jika
kita eleminasi beban selain D dan L akan menjadi sebagai berikut.
2) 1,2D + 1,6L + 0,5(Lr atau R) à
1,2D + 1,6L
3)
1,2D + 1,6(Lr atau R) + (L atau 0,5W) à 1,2D + L
4)
1,2D + 1,0W + L + 0,5(Lr
atau R) à
1,2D + L
Kemudian
dari hasil eleminasi beban tersebut maka dapat diambilah yang terbesar yaitu
1,2D + 1,6L sebagai bentuk kombinasi kedua (Combo 2).
Comb 2 = 1,2D + 1,6L
·
Kombinasi beban gempa: Setelah sebelumnya
beban gravity telah dikombinasikan
antara beban mati dan beban hidup, maka selanjutnya adalah kombinasi untuk
beban gempa. Untuk tipe kombinasi gempa yang cocok dari ketujuh kombinasi dasar
adalah pada poin 5) dan poin 7)
Berdasarkan
ASCE 7-10 halaman 84 pasal 12.4 (di SNI 1726 2012 halaman 47) SEISMIC
LOAD EFFECTS AND COMBINATION dapat dijabarkan dengan rinci untuk
kombinasi terhadap beban gempa yang ada. Selain itu, ASCE 7-10 juga membagi
kombinasi gempa menjadi dua yaitu pengaruh terhadap gempa horizontal (Eh) dan
gempa vertikal (Ev).
Pasal
12.4.2 dalam ASCE 7-10 merumuskan:
-
Untuk kombinasi dasar poin 5) maka nilai
gempa (E) dapat dijabarkan sebagai berikut.
E = Eh + Ev
Sedangkan
untuk poin 7) maka nilai E dijabarkan sebagai berikut.
E
= Eh – Ev
Sehingga
persamaan gempa diatas untuk pengaruh Eh dan Ev dapat disubtitusikan kedalam
kombinasi pada poin 5) dan 7) menjadi berikut ini.
Poin 5) =
1,2D + 1,0E + L
= 1,2D + 1,0 (Eh +
Ev) + L
Poin 7) = 0,9D + 1,0E
= 0,9D + 1,0 (Eh - Ev)
Selanjutnya untuk gempa horizontal dan gempa
vertical ASCE 7-10 merincikan lagi dalam pasal 12.4.2.1 dan pasal 12.4.2.2 dengan
persamaan sebagai berikut.
·
Untuk
gempa horizontal
Eh = ρQE
Dimana nilai ρ adalah faktor redundansi, sedangkan QE adalah beban gempa horizontal dari nilai V yang
dihitung pada ekivalen statik maupun dinamik respons spectrum di awal
perencanaan.
·
Untuk
beban verikal
Ev = 0,2SDSD
Dimana
nilai SDS adalah percepatan respons desain pada periode pendek (bisa
lihat nilai ini pada peta gempa maupun dari website
Kemudian kedua persamaan diatas dapat
disubtitusikan kedalam persamaan berikut.
Ø
Pers.1 = 1,2D + 1,0 (Eh + Ev) + L
=
1,2 D + 1,0 (ρQE + 0,2SDSD)
+ L
=
1,2 D + ρQE + 0,2SDSD
+ L
=
(1,2 + 0,2SDS)D + ρQE +
L
Nilai
(1,2 + 0,2SDS) bisa
diberi notas ‘a’, sehingga menjadi
Comb 3 = aD + ρQE + L
Ø Pers.2 =
0,9D + 1,0 (Eh - Ev)
=
0,9D + (ρQE - 0,2SDSD)
=
(0,9 - 0,2SDS)D + ρQE
Nilai (0,9 - 0,2SDS) bisa diberi
notasi ‘b’, sehingga menjadi
Comb 4 = bD + ρQE
Well… sekarang kita urutkan lagi
kombinasi-kombinasi beban yang sudah dijabarkan diatas ya.
1. Comb 1 :
1,4D
2. Comb 2 :
1,2D + 1,6L
3. Comb 3 :
aD
+ ρE+ L
4. Comb
4 : bD + ρE
*Ket
: QE = E
Apakah
sudah cukup sampai disitu? Belum. Karena beban gempa gerakannya ke segala arah,
tentu untuk mempermudah dalam analisis kita bagi menjadi dua bagian yaitu gempa
arah-X dan gempa arah-Y.
Sehingga
kombinasi nya menjadi:
1.
Comb 1 : 1,4D
2.
Comb 2 : 1,2D + 1,6L
3.
Comb 3 : aD + ρEx+ ρEy+ L
4.
Comb 4 :
bD + ρEx + ρEy
Arah
gempa itu tentu ada yang menjadi arah utama, yang mana salah satu arah akan
lebih dominan dan yang lainnya adalah arah sekunder. Namun, karena kita tidak
akan pernah tahu arah mana yang akan menjadi arah utama nya gempa, maka untuk
kedua arah perlu dikombinasikan terlebih dahulu dengan mengambil arah utama
sebesar 100% dan arah sekunder (tegak lurus arah utama) adalah diambil hanya sebesar
30% nya.
Penentuan
kenapa menggunakan nilai 100% gempa utama dan 30% arah tegak lurusnya saya
temukan pada PPTGIUG 1983 yang dijelaskan dengan rinci dalam artikel berjudul “Perencanaan
Gedung Tahan Gempa” oleh Prof. Mochammad Teguh (ini linknya : https://media.neliti.com/media/publications/121440-ID-perencanaan-gedung-tahan-gempa.pdf)
Mengacu
pada penjelasan diatas, maka kombinasi pembebanan diatas bisa kita jabarkan
lagi sebagai berikut ini.
1.
Comb 1 : 1,4D
2.
Comb 2 : 1,2D + 1,6L
3.
Comb 3 : aD + 100%ρEx+ 30%ρEy+ L
4.
Comb 4 : aD + 30%ρEx+ 100%ρEy+ L
5. Comb
5 : bD + 100%ρEx + 30%ρEy
6. Comb
6 : bD + 30%ρEx + 100%ρEy
Keenam
kombinasi beban diatas bisa digunakan dalam analisis struktur bangunan
bertingkat baik dengan metode statik maupun dinamik (respons spektrum). Khusus untuk
bangunan tinggi (high rise building) perlu
diperhatikan faktor beban angin yang mana kecepatannya akan sangat berpengaruh
di tingkat paling atasnya.
Yogyakarta, 1 Maret
2019
M.
Irfan Marasabessy
Structural
Engineer