Sabtu, 18 Juli 2020

BAJA TULANGAN/BESI BETON SESUAI SNI 2052 2017

APA YANG HARUS DILAKUKAN KETIKA HASIL PENGUJIAN BESI DILAPANGAN TIDAK MEMENUHI STANDAR?

APA PERBEDAAN BJTS 420A DAN 420B?

Proyek Konstruksi Beton tidak akan terlepas dari penggunaan baja tulangan sebagai material yang menahan tarik. Seperti yang sudah kita pelajari di bangku kuliah, karakteristik beton adalah sangat baik dalam menahan tekan, oleh karena itu mutu beton selalu dinotasikan dengan lambing f’c. Notasi ini sebenarnya mengacu pada ACI (American Concrete Institute), sebuah lembaga yang mengatur standar peraturan mengenai struktur beton di Amerika Serikat. Maksud dari f’c menurut ACI adalah compressive strength of concrete atau kuat tekan beton, tanda aksen (‘) merujuk pada compressive atau tekan. Oleh karena beton hanya mampu dalam menahan tekan, sehingga untuk menahan bagian tariknya maka perlu ditambahkan baja/besi tulangan. Penambahan baja/besi tulangan pun tidak sembarangan, perlu dilakukan analisis secara mekanika berapa besar gaya/momen yang dihasilkan sehingga kebutuhan jumlah dan diameter tulangan yang digunakan tepat dan sesuai. Bukan hanya itu saja, mutu dari tulangan yang digunakan tersebut pun harus sesuai dengan standar yang berlaku.
Saat ini di Indonesia, standar atau SNI yang mengatur mengenai karakteristik baja tulangan telah diperbarui, dengan revisi terakhir adalah pada tahun 2017 yaitu SNI-2052 2017 yang menggantikan SNI 2052-2014 sebelumnya. Perbedaan antara kedua versi SNI tersebut juga cukup signifikan, dimana terdapat perubahan pada penamaan mutu baja dan batas izin kuat leleh (fy) yang meningkat sebagaimana dapat dilihat pada gambar dibawah ini.   

 SNI 2052 2014



 SNI 2052 2017


Terlihat bahwa berdasarkan perbandingan sifat mekanis diatas, terdapat perbedaan bukan? Sebagai contoh jika kita merujuk peraturan lama maka kita akan menggunakan kelas baja tulangan BJTS 40 dengan nilai kuat leleh fy=390 MPa. Akan tetapi jika menggunakan peraturan terbaru makan kode BJTS 40 sudah diganti menjadi BJTS 420A dan BJTS 420B yang sama-sama memiliki nilai kuat leleh minimum fy=420 MPa. Nilai kuat leleh ini meningkat dari sebelumnya, artinya jika menggunakan SNI terbaru maka kuat leleh dalam perhitungan akan lebih besar.

Sekarang muncul lagi pertanyaan, apa perbedaan BJTS 420A dan BJTS 420B???

Jika dilihat dari tabel yang sama diatas, perbedaan keduanya terletak pada nilai regangan minimum yang diizinkan. Untuk tulangan diameter 19mm, maka:

a.      BJTS 420A = regangan minimum 9%
b.     BJTS 420B = regangan minimum 14%

Apa itu regangan minimum? 

Regangan adalah pertambahan panjang benda uji ketika ditarik, nilai regangan yang lebih besar menujukkan tingkat daktilitas material yang lebih baik. Artinya ketika mencapa nilai Kuat Tarik Maksimum yang sama, maka BJTS 420B bisa lebih besar regangannya sebesar 14% dibanding BJTS 420A yang hanya sebesar 9%. 

Pada konsep bangunan tahan gempa, tidak hanya tergantung pada kekuatan saja, melainkan juga ada aspek lain yaitu daktilitas dan Kekakuan. Jika yang diandalkan hanya kekuatan saja, maka semakin besar mutu yang digunakan akan semakin kuat, namun aspek daktilitas tentu tidak akan dipenuhi.

Penjelasannya kira-kira seperti ini, dalam desain suatu bangunan selalu ada aspek beban yang tidak bisa dihindari, yaitu beban gempa. Apakah jika bangunan sudah di desain dengan beban gempa tertentu, berarti tidak ada kemungkinan sama sekali terlampaui? Tentu tidak, kemungkinan terlampaui itu pasti ada, oleh karena itu prinsip bangunan tahan gempa adalah bukan pada seberapa kuat bangunan itu menahan gempa, tetapi bagaimana perilaku bangunan tersebut ketika terjadi gempa yang melebihi beban gempa recananya? Dan apabila gempa rencana terlampaui (Kuat gempa terjadi melebih Kuat rencana), maka diharapkan perilaku struktur masih pada kondisi inelastis, yaitu bangunan tidak langsung runtuh seketika, melainkan ada jeda waktu untuk penghuninya menyelamatkan diri nya. Itulah prinsip bangunan tahan gempa yang ideal. Kondisi tersebut hanya akan terjadi jika daktilitas material yang digunakan memenuhi syarat. 

Itulah kenapa prinsip Kekuatan, Kekakuan, dan Daktiltas tidak bisa saling meniadakan. Ketiganya harus proporsional sesuai ketentuan yang terdapat dalam kaidah perencanaan tahan gempa SNI 1726 2019. 

Berdasarkan penjelasan diatas, kita jadi tahu bahwa BJTS 420B lebih baik dalam daktilitas dibandingkan BJTS 420A. Selain itu, baja mutu tinggi (BJTS 520 keatas) juga memiliki daktilitas yang lebih rendah dari BJTS 420B. Sehingga Untuk perencanaan bangunan di wilayah dengan area gempa yang tinggi, penggunaan mutu baja tulangan yang tepat adalah BJTS 420B. Kecuali pada area wilayah tidak rawan terjadi gempa atau tingkat seismisitas yang rendah maka dibolehkan menggunakan BJTS 420A.

Kembali lagi ke Judul diatas, 

Apa yang harus dilakukan ketika hasil pengujian besi dilapangan tidak memenuhi standar?

Pengujian material menjadi syarat mutlak yang harus dilakukan oleh Kontraktor (Pelaksana) dengan diawasi oleh Pengawas (MK) sebelum material tersebut digunakan. Hal ini tertuang dalam spesifikasi dan rencana teknis atau rencana kerja dan syarat (RKS) suatu dokumen kontrak yang telah disusun oleh konsultan perencana. Adanya uji material tersebut untuk meyakinkan bahwa material tersebut sudah sesuai dengan standar SNI dan menjadi bahan evaluasi perencana (konstruktor) ketika hasil uji nanti ternyata terdapat perbedaan atau tidak memenuhi. 

Sebagai contoh, penulis akan melampirkan salah satu hasil uji tarik besi tulangan dengan mutu BJTS 420B salah satu proyek yang mana penulis sebagai bagian dari perencanaan. Pengawas(MK) meminta kami sebagai perencana untuk mengevaluasi hasil tersebut apakah sudah sesuai atau belum. Berikut tabel hasil perhitungan uji kuat tarik baja tulangannya.




Berdasarkan tabel diatas, akan dilakukan pengecekkan terhadap hasil uji tarik baja tulangan diameter 19 mm (D19) dan diameter 22 mm (D22) dengan masing-masing tiga sampel uji.
Menurut hemat penulis, berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh SNI 2052 2017, kita dapat membagi atau melakukan verivikasi hasil uji menjadi 5 (Lima) bagian, yaitu:

1.     Pengecekkan Diameter Tulangan
2.     Pengecekkan Berat Tulangan
3.     Pengecekkan Regangan/Elongasi
4.     Pengecekkan Tegangan
5.     Pengecekkan Rasio Tegangan

1.     Pengecekkan Diameter Tulangan
            Menurut SNI 2052 2017, toleransi diameter tulangan hanya dilakukan pada baja tulangan Polos atau BJTP, hal ini dikarenakan bentuk polos tanpa ulir sangat mudah untuk diukur diameternya dibandingkan tulanga sirip atau ulir. Oleh karena itu, tulangan sirip/ulir sebagai gantinya akan dilakukan pengecekkan terhadap berat tulangannya.








 (SUMBER: SNI 2052 2017)

Dikarenakan dalam contoh kali ini tidak ada tulangan polos, maka kita akan lanjutkan pada pengecekkan kedua yaitu berat tulangan.

2.     Pengecekkan Berat Tulangan
Khusus untuk tulangan ulir/sirip perlu dicek terhadap toleransi berat nya sebagaimana gambar berikut.




Berdasarkan tabel diatas, nilai toleransi berat tulangan diameter 19mm dan 22mm adalah 5% yang mana dapat dihitung dengan rumus berikut.




Berat aktual adalah berat yang dihitung secara aktual sesaui laporan hasil uji diatas, sedangkan berat nominal adalah berat yang dihitung sesuai diameter tulangan tersebut atau sesuai tabel dalam SNI 2052 2017 berikut.





Berdasarkan gambar diatas, maka secara nominal tulangan diameter 19 mm memiliki luas penampang sebesar 2,226 kg/m sedangkan tulangan diameter 22 mm adalah 2,984 kg/m. Berikut dibawah ini merupakan hasil pengecekkan toleransi berat tulangannya.


Berdasarkan perhitungan pada tabel diatas, terlihat bahwa untuk sampel tulangan diameter 19 mm telah memenuhi toleransi berat yang di syaratkan oleh SNI dimana nilainya lebih kecil dari 5%. Sedangkan untuk tulangan diameter 22 mm terdapat dua sampel uji yang tidak memenuh, sehingga secara rata-rata juga tidak masuk persyaratan. 

Berat tulangan ini sebenarnya berkaitan dengan diameter, jika selisih persentase berat semakin besar (>5%) maka bisa disimpulkan bahwa diameter tulangan aktual juga lebih kecil dari yang seharusnya. Diameter tulangan berbanding lurus dengan luas penampang dan kuat tarik, maka diameter yang kecil juga akan memperkecil kemampuan tarik dari tulangan tersebut.





Maka dari itu, perlu di cek kembali perhitungan desain balok, kolom, pelat, dan struktur lainnya yang menggunakan diameter aktual tersebut diatas. Namun, sebelum itu ada baiknya kita cek terlebih dahulu nilai mutu tegangan aktualnya, karena salah satu variabel dari rumus kuat tarik diatas ada nilai fy (kuat leleh).





            Melihat tabel diatas, bisa kita simpulkan bahwa diameter tulangan ketika diukur secara aktual tidak sama persis nilainya sesuai dengan kode nominalnya. Ini tentu sebenarnya hal yang wajar, karena untuk mencapai keakuratan 100% adalah mustahil, sehingga dalam SNI masih diberikan batasan toleransinya. Jika sudah melebihi toleransi yang disyaratkan, maka pasti akan berpegaruh ke volume dan tentu kekuatannya. 

3.     Pengecekkan Regangan/Elongasi

Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, regangan/elongasi ini erat kaitannya dengan daktilitas. Semakin besar regangan maka semakin baik, artinya untuk mencapai nilai tegangan tertentu maka akan juga menghasilkan suatau regangan. Semakin kecil regangan berarti semakin kecil waktu terjadinya kondisi inelastic dan ini yang tidak diharapkan dalam konsep tahan gempa. Untuk lebih jelas saya ilustrasikan sebagai berikut ini.




Berkut penjelasan grafik diatas:

  1. Grafik diatas terdiri dari dua grafik tegangan-regangan baja dengan nilai Mutu Fy dan Fu yang sama, grafik 1 warna biru dan grafik 2 warna merah yang mana mengilustrasikan BJTS 420A(biru) dan BJTS 420B(merah).
  2. Kondisi elastis baja yaitu kondisi dimana perbandingan tegangan dan regangan adalah sama, dan terjadi sebelum mencapai batas kuat leleh (fy). Artinya jika nilai fy belum terlampaui bisa dipastikan baja tulangan tersebut masih bersifat elastis dan bentuknya linear. Inilah kenapa Modulus Elastisitas baja selalu sama 200.000 MPa, karena kondisinya adalah linear dimana perbandingan tegangan/regangan selalu sama. Berbeda dengan beton yang bentuk grafik nya adalah non-liniear. Sehingga nilai modulus elastisnya pun berbeda-beda tergantung nilai teganganya. SNI merumuskan nilai modulus beton Ec = 4700√f’c
  3. Kondisi Inelastis (plastic + strain hardening) adalah kondisi dimana ketika terjadi pertambahan tegangan maka bentuk baja sudah tidak bisa kembali ke ukuran semula, artinya regangan bertambah dan tidak bisa kembali lagi
  4. Perbedaan BJTS 420A da 420B terletak pada lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai titik runtuh atau lama waktu kondsi inelastis nya. Tulangan BJTS 420A memiliki regangan maksimum yang lebih kecil dibanding BJTS 420B
  5. Batas minimum regangan ini sangat penting, sebab dalam desain kita akan merencanakan tulangan tarik akan mencapai leleh duluan sebelum beton mengalami keruntuhan. Ketika tulangan sudah mencapai leleh maka selanjutnya dia akan bersifat plastis sampai mencapai tegangan/kapasitas maksimum sebelum akhirnya terjadi failure/patah. Waktu yang dibutuhkan selama kondisi inelastis inilah tergantung dari kemampuan baja tersebut mencapai regangan maksimumnya. 
  6. Konsep bangunan tahan gempa menerapka prinsip bahwa gedung boleh rusak ketika terjadi beban gempa yang besar (melebihi beban rencana) tetapi tidak langsung runtuh seketika, hal ini dapat terwujud dengan mengharapkan bahwa tulangan akan mencapai leleh duluan sebelum beton hancur/luluh. Sebagaimana grafik beton, kurvanya tidak memiliki kondisi leleh, sehingga ketika sudah mencapai batas maksimum beban, beton akan langsung hancur. Berbeda dengan baja tulangan yang memiliki kondisi leleh/necking dimana hal ini bisa sebagai tanda bahwa bangunan akan rusak, sehingga memungkinkan penghuni nya menyelematkan dirinya.
  7. Kondisi sebagaimana penjelasan di poin nomor 6 diatas hanya dapat terwujud jika menggunakan material yang memiliki tingkat daktilitas yang baik, dan ini diatur oleh SNI 2052 2017, sehingga pemilihan karakteristik baja tulangan tidaklah sembarangan. Bukan berarti semakin tinggi mutu semakin baik, tetapi yang diharapkan adalah daktilitasnya.

Menurut SNI 2052 2017, kode BJTS 420B untuk tulangan diameter 19mm harus minimal memiliki regangan/pertambahan perpanjangan sebesar 14%. Sedangkan untuk diameter 22mm adalah sebesar 12%.

Mari kita lihat hasil uji tarik diatas.



Hasil tersebut menunjukkan bahwa semua sampel telah memenuhi syarat regangan minimum. Sehingga kemampuan daktilitas yang diharapkan oleh baja tulangan tersebut sudah sesuai dengan ketentuan dalam SNI 2052 2017.

4.     Pengecekkan Tegangan (Mutu Tulangan)
Tegangan dibagi dua yaitu saat kondisi leleh (fy) dan kondisi ultimate (Fu). Kenapa nilai fy selalu dijadikan acuan dalam hitungan? Kenapa bukan Fu saja?

Sebagaimana sudah saya jelaskan sebelumnya, nilai Fy (leleh) adalah kondisi dimana baja akan berperilaku tidak lagi elastis, melainkan inelastis. Sehingga nilai fy biasa disebut sebagai batas elastis suatu material baja. Dalam hitungan kita mendesain bahwa bangunan dalam masa layannya harus bersifat elastis, sehingga kondisi inelastis/plastis hanya terjadi ketika beban gempa telah melampaui beban rencana.

Berdasarkan SNI 2052 2017 BJTS 420B ditetapkan nilai fy minimal adalah 420 MPa, dan Fu minimal adalah 525 MPa. Beriktut hasil uji tegangan tariknya.




Berdasarkan tabel diatas, nilai mutu baja fy maupun fu sudah memenuhi persyaratan minimal sesuai kelas bajanya yaitu BJTS 420B. Dari tabel itu juga kita bisa menyimpulkan bahwa nilai tegangan leleh maupun ultimate terkadang bisa lebih besar sekali atau mendekati nilai minimumnya. Mutu Tegangan ini berkaitan dengan konsep Kekuatan, semakin besar nilai fy, maka semakin kuat penampangnya.

5.     Pengecekkan Rasio Tegangan (Fu/Fy)
SNI 2052 2017 sudah mensyaratkan semua jenis kelas baja tulangan ulir/sirip/BJTS harus memiliki selisih nilai tegangan ultimate dan tegangan leleh sebesar 1.25 atau artinya setelah kondisi leleh, baja tersebut diharuskan memiliki setidaknya kenaikan tegangan sebesar 25% lagi sebelum akhirnya patah. 

Kenapa demikian? 

Kalau tadi regangan minimum adalah syarat daktilitas yang ditinjau dari pertambahan panjang atau regangan, maka rasio tegangan ini adalah syarat daktilitas dari sisi tegangannya.


Semakin besar selisih tegangan maka akan semakin baik.

Berikut hasil pengecekkan rasio nya.



Secara rasio sudah memenuhi.

Kesimpulan

Kembali lagi pada pertanyaan diawal tulisan ini, kesimpulan apa yang bisa diambil jika seandainya hasil-hasil tersebut diatas tidak masuk/memenuhi standar?

  1. Jika diameter tulangan/berat tulangan tidak memenuhi, maka cek saja nilai Tegangan leleh nya, hubungan antara diameter (d) dan nilai tegangan leleh (fy) berkaitan dengan kemampuan gaya tarik yang dihasilkan oleh satu buah tulangan. Jika diameter aktual lebih kecil dari nominalnya, biasnaya tegangannya selalu tinggi (fy > 420 MPa), maka selanjutnya dicek saja atau diubah nilai diameter dan fy sesuai dengan nilai aktual pada perhitungan strukturnya. Jika masih masih masuk secara kapasitas, maka secara kekuatan struktur masih dinyatakan aman.
  2. Jika nilai Tegangan lebih kecil dari nilai tegangan nominal (fy < 420 MPa), maka ini tentu tidak bisa ditoleransi, sudah pasti gaya tarik satu tulangan akan berkurang. Jika baja tulangan tersebut tetap dipertahankan, maka perlu redesain jumlah tulangan yang akan digunakan, sehingga secara kapasitas masih memenuhi.
  3. Jika regangan minimum dan rasio tegangan tidak memenuhi persyaratan yang ditunjukkan oleh SNI 2052 2017, maka sebenarnya secara kekuatan tidak ada masalah, tetapi secara kemampuan DAKTILITAS nya tentu tidak lagi terpenuhi. Padahal daktilitas ini sangat penting bagi perencanaan bangunan tahan gempa. 


 *Note : Saat ini dengan dikeluarkan nya Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum No. 13/SE/M/2019 tentang Penggunaan Baja Tulangan Beton sesuai Standar Nasional Indonesia, maka SNI 2052 2017 wajib digunakan sebagai acuan penggunaan baja tulangan beton di Indonesia.

Berikut Link nya.

https://jdih.pu.go.id/internal/assets/plugins/pdfjs/web/viewer.html?file=https://jdih.pu.go.id/internal/assets/assets/produk/SEMenteriPUPR/2019/09/SE13-2019.pdf