Sabtu, 18 Juli 2020

BAJA TULANGAN/BESI BETON SESUAI SNI 2052 2017

APA YANG HARUS DILAKUKAN KETIKA HASIL PENGUJIAN BESI DILAPANGAN TIDAK MEMENUHI STANDAR?

APA PERBEDAAN BJTS 420A DAN 420B?

Proyek Konstruksi Beton tidak akan terlepas dari penggunaan baja tulangan sebagai material yang menahan tarik. Seperti yang sudah kita pelajari di bangku kuliah, karakteristik beton adalah sangat baik dalam menahan tekan, oleh karena itu mutu beton selalu dinotasikan dengan lambing f’c. Notasi ini sebenarnya mengacu pada ACI (American Concrete Institute), sebuah lembaga yang mengatur standar peraturan mengenai struktur beton di Amerika Serikat. Maksud dari f’c menurut ACI adalah compressive strength of concrete atau kuat tekan beton, tanda aksen (‘) merujuk pada compressive atau tekan. Oleh karena beton hanya mampu dalam menahan tekan, sehingga untuk menahan bagian tariknya maka perlu ditambahkan baja/besi tulangan. Penambahan baja/besi tulangan pun tidak sembarangan, perlu dilakukan analisis secara mekanika berapa besar gaya/momen yang dihasilkan sehingga kebutuhan jumlah dan diameter tulangan yang digunakan tepat dan sesuai. Bukan hanya itu saja, mutu dari tulangan yang digunakan tersebut pun harus sesuai dengan standar yang berlaku.
Saat ini di Indonesia, standar atau SNI yang mengatur mengenai karakteristik baja tulangan telah diperbarui, dengan revisi terakhir adalah pada tahun 2017 yaitu SNI-2052 2017 yang menggantikan SNI 2052-2014 sebelumnya. Perbedaan antara kedua versi SNI tersebut juga cukup signifikan, dimana terdapat perubahan pada penamaan mutu baja dan batas izin kuat leleh (fy) yang meningkat sebagaimana dapat dilihat pada gambar dibawah ini.   

 SNI 2052 2014



 SNI 2052 2017


Terlihat bahwa berdasarkan perbandingan sifat mekanis diatas, terdapat perbedaan bukan? Sebagai contoh jika kita merujuk peraturan lama maka kita akan menggunakan kelas baja tulangan BJTS 40 dengan nilai kuat leleh fy=390 MPa. Akan tetapi jika menggunakan peraturan terbaru makan kode BJTS 40 sudah diganti menjadi BJTS 420A dan BJTS 420B yang sama-sama memiliki nilai kuat leleh minimum fy=420 MPa. Nilai kuat leleh ini meningkat dari sebelumnya, artinya jika menggunakan SNI terbaru maka kuat leleh dalam perhitungan akan lebih besar.

Sekarang muncul lagi pertanyaan, apa perbedaan BJTS 420A dan BJTS 420B???

Jika dilihat dari tabel yang sama diatas, perbedaan keduanya terletak pada nilai regangan minimum yang diizinkan. Untuk tulangan diameter 19mm, maka:

a.      BJTS 420A = regangan minimum 9%
b.     BJTS 420B = regangan minimum 14%

Apa itu regangan minimum? 

Regangan adalah pertambahan panjang benda uji ketika ditarik, nilai regangan yang lebih besar menujukkan tingkat daktilitas material yang lebih baik. Artinya ketika mencapa nilai Kuat Tarik Maksimum yang sama, maka BJTS 420B bisa lebih besar regangannya sebesar 14% dibanding BJTS 420A yang hanya sebesar 9%. 

Pada konsep bangunan tahan gempa, tidak hanya tergantung pada kekuatan saja, melainkan juga ada aspek lain yaitu daktilitas dan Kekakuan. Jika yang diandalkan hanya kekuatan saja, maka semakin besar mutu yang digunakan akan semakin kuat, namun aspek daktilitas tentu tidak akan dipenuhi.

Penjelasannya kira-kira seperti ini, dalam desain suatu bangunan selalu ada aspek beban yang tidak bisa dihindari, yaitu beban gempa. Apakah jika bangunan sudah di desain dengan beban gempa tertentu, berarti tidak ada kemungkinan sama sekali terlampaui? Tentu tidak, kemungkinan terlampaui itu pasti ada, oleh karena itu prinsip bangunan tahan gempa adalah bukan pada seberapa kuat bangunan itu menahan gempa, tetapi bagaimana perilaku bangunan tersebut ketika terjadi gempa yang melebihi beban gempa recananya? Dan apabila gempa rencana terlampaui (Kuat gempa terjadi melebih Kuat rencana), maka diharapkan perilaku struktur masih pada kondisi inelastis, yaitu bangunan tidak langsung runtuh seketika, melainkan ada jeda waktu untuk penghuninya menyelamatkan diri nya. Itulah prinsip bangunan tahan gempa yang ideal. Kondisi tersebut hanya akan terjadi jika daktilitas material yang digunakan memenuhi syarat. 

Itulah kenapa prinsip Kekuatan, Kekakuan, dan Daktiltas tidak bisa saling meniadakan. Ketiganya harus proporsional sesuai ketentuan yang terdapat dalam kaidah perencanaan tahan gempa SNI 1726 2019. 

Berdasarkan penjelasan diatas, kita jadi tahu bahwa BJTS 420B lebih baik dalam daktilitas dibandingkan BJTS 420A. Selain itu, baja mutu tinggi (BJTS 520 keatas) juga memiliki daktilitas yang lebih rendah dari BJTS 420B. Sehingga Untuk perencanaan bangunan di wilayah dengan area gempa yang tinggi, penggunaan mutu baja tulangan yang tepat adalah BJTS 420B. Kecuali pada area wilayah tidak rawan terjadi gempa atau tingkat seismisitas yang rendah maka dibolehkan menggunakan BJTS 420A.

Kembali lagi ke Judul diatas, 

Apa yang harus dilakukan ketika hasil pengujian besi dilapangan tidak memenuhi standar?

Pengujian material menjadi syarat mutlak yang harus dilakukan oleh Kontraktor (Pelaksana) dengan diawasi oleh Pengawas (MK) sebelum material tersebut digunakan. Hal ini tertuang dalam spesifikasi dan rencana teknis atau rencana kerja dan syarat (RKS) suatu dokumen kontrak yang telah disusun oleh konsultan perencana. Adanya uji material tersebut untuk meyakinkan bahwa material tersebut sudah sesuai dengan standar SNI dan menjadi bahan evaluasi perencana (konstruktor) ketika hasil uji nanti ternyata terdapat perbedaan atau tidak memenuhi. 

Sebagai contoh, penulis akan melampirkan salah satu hasil uji tarik besi tulangan dengan mutu BJTS 420B salah satu proyek yang mana penulis sebagai bagian dari perencanaan. Pengawas(MK) meminta kami sebagai perencana untuk mengevaluasi hasil tersebut apakah sudah sesuai atau belum. Berikut tabel hasil perhitungan uji kuat tarik baja tulangannya.




Berdasarkan tabel diatas, akan dilakukan pengecekkan terhadap hasil uji tarik baja tulangan diameter 19 mm (D19) dan diameter 22 mm (D22) dengan masing-masing tiga sampel uji.
Menurut hemat penulis, berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh SNI 2052 2017, kita dapat membagi atau melakukan verivikasi hasil uji menjadi 5 (Lima) bagian, yaitu:

1.     Pengecekkan Diameter Tulangan
2.     Pengecekkan Berat Tulangan
3.     Pengecekkan Regangan/Elongasi
4.     Pengecekkan Tegangan
5.     Pengecekkan Rasio Tegangan

1.     Pengecekkan Diameter Tulangan
            Menurut SNI 2052 2017, toleransi diameter tulangan hanya dilakukan pada baja tulangan Polos atau BJTP, hal ini dikarenakan bentuk polos tanpa ulir sangat mudah untuk diukur diameternya dibandingkan tulanga sirip atau ulir. Oleh karena itu, tulangan sirip/ulir sebagai gantinya akan dilakukan pengecekkan terhadap berat tulangannya.








 (SUMBER: SNI 2052 2017)

Dikarenakan dalam contoh kali ini tidak ada tulangan polos, maka kita akan lanjutkan pada pengecekkan kedua yaitu berat tulangan.

2.     Pengecekkan Berat Tulangan
Khusus untuk tulangan ulir/sirip perlu dicek terhadap toleransi berat nya sebagaimana gambar berikut.




Berdasarkan tabel diatas, nilai toleransi berat tulangan diameter 19mm dan 22mm adalah 5% yang mana dapat dihitung dengan rumus berikut.




Berat aktual adalah berat yang dihitung secara aktual sesaui laporan hasil uji diatas, sedangkan berat nominal adalah berat yang dihitung sesuai diameter tulangan tersebut atau sesuai tabel dalam SNI 2052 2017 berikut.





Berdasarkan gambar diatas, maka secara nominal tulangan diameter 19 mm memiliki luas penampang sebesar 2,226 kg/m sedangkan tulangan diameter 22 mm adalah 2,984 kg/m. Berikut dibawah ini merupakan hasil pengecekkan toleransi berat tulangannya.


Berdasarkan perhitungan pada tabel diatas, terlihat bahwa untuk sampel tulangan diameter 19 mm telah memenuhi toleransi berat yang di syaratkan oleh SNI dimana nilainya lebih kecil dari 5%. Sedangkan untuk tulangan diameter 22 mm terdapat dua sampel uji yang tidak memenuh, sehingga secara rata-rata juga tidak masuk persyaratan. 

Berat tulangan ini sebenarnya berkaitan dengan diameter, jika selisih persentase berat semakin besar (>5%) maka bisa disimpulkan bahwa diameter tulangan aktual juga lebih kecil dari yang seharusnya. Diameter tulangan berbanding lurus dengan luas penampang dan kuat tarik, maka diameter yang kecil juga akan memperkecil kemampuan tarik dari tulangan tersebut.





Maka dari itu, perlu di cek kembali perhitungan desain balok, kolom, pelat, dan struktur lainnya yang menggunakan diameter aktual tersebut diatas. Namun, sebelum itu ada baiknya kita cek terlebih dahulu nilai mutu tegangan aktualnya, karena salah satu variabel dari rumus kuat tarik diatas ada nilai fy (kuat leleh).





            Melihat tabel diatas, bisa kita simpulkan bahwa diameter tulangan ketika diukur secara aktual tidak sama persis nilainya sesuai dengan kode nominalnya. Ini tentu sebenarnya hal yang wajar, karena untuk mencapai keakuratan 100% adalah mustahil, sehingga dalam SNI masih diberikan batasan toleransinya. Jika sudah melebihi toleransi yang disyaratkan, maka pasti akan berpegaruh ke volume dan tentu kekuatannya. 

3.     Pengecekkan Regangan/Elongasi

Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, regangan/elongasi ini erat kaitannya dengan daktilitas. Semakin besar regangan maka semakin baik, artinya untuk mencapai nilai tegangan tertentu maka akan juga menghasilkan suatau regangan. Semakin kecil regangan berarti semakin kecil waktu terjadinya kondisi inelastic dan ini yang tidak diharapkan dalam konsep tahan gempa. Untuk lebih jelas saya ilustrasikan sebagai berikut ini.




Berkut penjelasan grafik diatas:

  1. Grafik diatas terdiri dari dua grafik tegangan-regangan baja dengan nilai Mutu Fy dan Fu yang sama, grafik 1 warna biru dan grafik 2 warna merah yang mana mengilustrasikan BJTS 420A(biru) dan BJTS 420B(merah).
  2. Kondisi elastis baja yaitu kondisi dimana perbandingan tegangan dan regangan adalah sama, dan terjadi sebelum mencapai batas kuat leleh (fy). Artinya jika nilai fy belum terlampaui bisa dipastikan baja tulangan tersebut masih bersifat elastis dan bentuknya linear. Inilah kenapa Modulus Elastisitas baja selalu sama 200.000 MPa, karena kondisinya adalah linear dimana perbandingan tegangan/regangan selalu sama. Berbeda dengan beton yang bentuk grafik nya adalah non-liniear. Sehingga nilai modulus elastisnya pun berbeda-beda tergantung nilai teganganya. SNI merumuskan nilai modulus beton Ec = 4700√f’c
  3. Kondisi Inelastis (plastic + strain hardening) adalah kondisi dimana ketika terjadi pertambahan tegangan maka bentuk baja sudah tidak bisa kembali ke ukuran semula, artinya regangan bertambah dan tidak bisa kembali lagi
  4. Perbedaan BJTS 420A da 420B terletak pada lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai titik runtuh atau lama waktu kondsi inelastis nya. Tulangan BJTS 420A memiliki regangan maksimum yang lebih kecil dibanding BJTS 420B
  5. Batas minimum regangan ini sangat penting, sebab dalam desain kita akan merencanakan tulangan tarik akan mencapai leleh duluan sebelum beton mengalami keruntuhan. Ketika tulangan sudah mencapai leleh maka selanjutnya dia akan bersifat plastis sampai mencapai tegangan/kapasitas maksimum sebelum akhirnya terjadi failure/patah. Waktu yang dibutuhkan selama kondisi inelastis inilah tergantung dari kemampuan baja tersebut mencapai regangan maksimumnya. 
  6. Konsep bangunan tahan gempa menerapka prinsip bahwa gedung boleh rusak ketika terjadi beban gempa yang besar (melebihi beban rencana) tetapi tidak langsung runtuh seketika, hal ini dapat terwujud dengan mengharapkan bahwa tulangan akan mencapai leleh duluan sebelum beton hancur/luluh. Sebagaimana grafik beton, kurvanya tidak memiliki kondisi leleh, sehingga ketika sudah mencapai batas maksimum beban, beton akan langsung hancur. Berbeda dengan baja tulangan yang memiliki kondisi leleh/necking dimana hal ini bisa sebagai tanda bahwa bangunan akan rusak, sehingga memungkinkan penghuni nya menyelematkan dirinya.
  7. Kondisi sebagaimana penjelasan di poin nomor 6 diatas hanya dapat terwujud jika menggunakan material yang memiliki tingkat daktilitas yang baik, dan ini diatur oleh SNI 2052 2017, sehingga pemilihan karakteristik baja tulangan tidaklah sembarangan. Bukan berarti semakin tinggi mutu semakin baik, tetapi yang diharapkan adalah daktilitasnya.

Menurut SNI 2052 2017, kode BJTS 420B untuk tulangan diameter 19mm harus minimal memiliki regangan/pertambahan perpanjangan sebesar 14%. Sedangkan untuk diameter 22mm adalah sebesar 12%.

Mari kita lihat hasil uji tarik diatas.



Hasil tersebut menunjukkan bahwa semua sampel telah memenuhi syarat regangan minimum. Sehingga kemampuan daktilitas yang diharapkan oleh baja tulangan tersebut sudah sesuai dengan ketentuan dalam SNI 2052 2017.

4.     Pengecekkan Tegangan (Mutu Tulangan)
Tegangan dibagi dua yaitu saat kondisi leleh (fy) dan kondisi ultimate (Fu). Kenapa nilai fy selalu dijadikan acuan dalam hitungan? Kenapa bukan Fu saja?

Sebagaimana sudah saya jelaskan sebelumnya, nilai Fy (leleh) adalah kondisi dimana baja akan berperilaku tidak lagi elastis, melainkan inelastis. Sehingga nilai fy biasa disebut sebagai batas elastis suatu material baja. Dalam hitungan kita mendesain bahwa bangunan dalam masa layannya harus bersifat elastis, sehingga kondisi inelastis/plastis hanya terjadi ketika beban gempa telah melampaui beban rencana.

Berdasarkan SNI 2052 2017 BJTS 420B ditetapkan nilai fy minimal adalah 420 MPa, dan Fu minimal adalah 525 MPa. Beriktut hasil uji tegangan tariknya.




Berdasarkan tabel diatas, nilai mutu baja fy maupun fu sudah memenuhi persyaratan minimal sesuai kelas bajanya yaitu BJTS 420B. Dari tabel itu juga kita bisa menyimpulkan bahwa nilai tegangan leleh maupun ultimate terkadang bisa lebih besar sekali atau mendekati nilai minimumnya. Mutu Tegangan ini berkaitan dengan konsep Kekuatan, semakin besar nilai fy, maka semakin kuat penampangnya.

5.     Pengecekkan Rasio Tegangan (Fu/Fy)
SNI 2052 2017 sudah mensyaratkan semua jenis kelas baja tulangan ulir/sirip/BJTS harus memiliki selisih nilai tegangan ultimate dan tegangan leleh sebesar 1.25 atau artinya setelah kondisi leleh, baja tersebut diharuskan memiliki setidaknya kenaikan tegangan sebesar 25% lagi sebelum akhirnya patah. 

Kenapa demikian? 

Kalau tadi regangan minimum adalah syarat daktilitas yang ditinjau dari pertambahan panjang atau regangan, maka rasio tegangan ini adalah syarat daktilitas dari sisi tegangannya.


Semakin besar selisih tegangan maka akan semakin baik.

Berikut hasil pengecekkan rasio nya.



Secara rasio sudah memenuhi.

Kesimpulan

Kembali lagi pada pertanyaan diawal tulisan ini, kesimpulan apa yang bisa diambil jika seandainya hasil-hasil tersebut diatas tidak masuk/memenuhi standar?

  1. Jika diameter tulangan/berat tulangan tidak memenuhi, maka cek saja nilai Tegangan leleh nya, hubungan antara diameter (d) dan nilai tegangan leleh (fy) berkaitan dengan kemampuan gaya tarik yang dihasilkan oleh satu buah tulangan. Jika diameter aktual lebih kecil dari nominalnya, biasnaya tegangannya selalu tinggi (fy > 420 MPa), maka selanjutnya dicek saja atau diubah nilai diameter dan fy sesuai dengan nilai aktual pada perhitungan strukturnya. Jika masih masih masuk secara kapasitas, maka secara kekuatan struktur masih dinyatakan aman.
  2. Jika nilai Tegangan lebih kecil dari nilai tegangan nominal (fy < 420 MPa), maka ini tentu tidak bisa ditoleransi, sudah pasti gaya tarik satu tulangan akan berkurang. Jika baja tulangan tersebut tetap dipertahankan, maka perlu redesain jumlah tulangan yang akan digunakan, sehingga secara kapasitas masih memenuhi.
  3. Jika regangan minimum dan rasio tegangan tidak memenuhi persyaratan yang ditunjukkan oleh SNI 2052 2017, maka sebenarnya secara kekuatan tidak ada masalah, tetapi secara kemampuan DAKTILITAS nya tentu tidak lagi terpenuhi. Padahal daktilitas ini sangat penting bagi perencanaan bangunan tahan gempa. 


 *Note : Saat ini dengan dikeluarkan nya Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum No. 13/SE/M/2019 tentang Penggunaan Baja Tulangan Beton sesuai Standar Nasional Indonesia, maka SNI 2052 2017 wajib digunakan sebagai acuan penggunaan baja tulangan beton di Indonesia.

Berikut Link nya.

https://jdih.pu.go.id/internal/assets/plugins/pdfjs/web/viewer.html?file=https://jdih.pu.go.id/internal/assets/assets/produk/SEMenteriPUPR/2019/09/SE13-2019.pdf

Minggu, 03 Maret 2019

PERBEDAAN PERSEPSI ELEVASI PONDASI FOOTPLAT + SIKLOP KONTRAKTOR DAN PERENCANA


Saat itu bulan maret 2018, belum genap sebulan saya bekerja  sebagai seorang Engineer di sebuah perusahaan kosultan perencana. Pagi itu seperti biasa kantor masuk jam 08.00 pagi, dan saya sudah duduk di meja bersiap memulai pekerjaan. Sebagai karyawan baru dengan nol pengalaman kerja, tentu masih banyak penyesuaian yang harus saya lakukan. Belum ada gedung yang saya hitung, baru sekedar membuat laporan struktur dari hasil hitungan yang telah dihitung oleh tenaga ahli struktur. Kami di kantor, sebagai seorang junior Structural Engineer, tentu belum boleh langsung menghitung, hanya pekerjaan menyusun dan membuat laporan dan justifikasi teknis permasalahan kecil sajalah yang bisa dilakukan. Seiring membuat laporan struktur, perlahan saya mulai belajar, menelaah, mempelajari, dan mencatat apa-apa saja yang diperlukan seorang Engineer dalam menghitung bangunannya. Sehingga kedepannya saya sudah mulai bisa mandiri menghitung bangunan-bangunan gedung bertingkat, namun masih tetap dengan pengawasan dan saran-saran serta masukkan dari tenaga ahli struktur yang ada. 


Masih di hari yang sama, saya dikabarkan bahwa salah satu proyek kantor lagi terdapat permasalahan dan perlu justifikasi dari konsultan perencana. Yup, permasalahannya mengenai elevasi kedalaman pondasi yang direncanakan oleh konsultan. Jadi, menurut kontraktor, rencana kedalaman pondasi tidak bisa ditembus (digali) oleh alat kontraktor, saya tidak tahu alat yang digunakan seperti apa sehingga bisa beranggapan seperti itu, yang pastinya tanah sudah sangat keras dan mentok di kedalam -2m  (gambar rencana = -3m). 



Sebagai seorang engineer muda dengan pengalaman yang belum ada, hanya berbekal pengetahuan yang saya dapatkan di bangku kuliah, ditambah struktur bangunan ini bukan saya yang hitung, tentu keputusan pengambilan jenis pondasi, elevasi kenapa harus di kedalaman -3m dengan jumlah lantainya ada 5, tidak sama sekali saya ketahui saat itu. Tentu hipotesa awal saya mengatakan bahwa tidak mungkin penentuan -3m tanpa adanya alasan teknis yang jelas. Kalau misalnya -2m masih mampu, kenapa tidak disitu saja? Selisih 1m itu bukan perkara yang sepele, kalau dijadikan volume bisa jadi duit yang tidak sedikit kan.

Berbekal pengetahuan yang saya dapatkan sewaktu kuliah, saya mulai menyusun strategi pemecehan masalahnya. Pertama-tama saya mulai mengumpulkan sebanyak mungkin data yang bisa saya dapatkan, diantaranya:
1)      Gambar Struktur
2)      Laporan perhitungan struktur
3)      Laporan penyelidikan tanah
4)      File software Analisis struktur yang digunakan (ETABS)
5)      File Excel yang dilakukan untuk menghitung.

Karena ini merupakan proyek tahun 2017, maka saya perlu mencari dokumen kantor di tahun 2017 tersebut. For yet Information, di kantor setiap file akan disimpan berdasarkan tahun project pada server masing-masing, sehingga jika kita ingin melihat file-file ditahun sebelumnya perlu untuk masuk ke server yang berbeda terlebih dahulu. Alhamdulillah, karena masih setahun yang lalu proyek perencanaannya maka tidak terlalu sulit untuk menemukan semua file yang dibutuhkan. 

Ohiya, saya jelaskan terlebih dahulu kelima poin diatas ya..
Pertama, kenapa gambar struktur sangatlah penting, karena dari sini kita bisa lebih jelas melihat denah struktur secara keseluruhan, apakah justifikasi engineer menjadi berbeda ketika digambar oleh drafter juga akan terlihat. Untuk mengeceknya saya membandingkannya dengan laporan perhitungan struktur yang ada. Ternyata saya tidak menemukan adanya kesalahan pada proses penerjemahan informasi dari engineer kepada drafter, artinya seorang drafter tersebut telah menyelesaikan tugasnya dengan baik untuk menggambar sesuai estimasi dan perhitungan si engineer. Kemudian saya perlu membuka file Excel bagian perhitungan pondasi untuk mempelajari perhitungannya. Dari sini saya sedikit kebingunan, wajar saja karena membaca program perhitungan excel buatan orang lain itu sangat sulit dan pusing melihatnya. Mungkin karena bukan kita sendiri yang buat ya, sehingga kita tidak tahu secara detail proses perumusan yang digunakan seperti apa. Hmm… karena terlalu membingungkan dan saya juga tidak menemukan hasil apa-apa, saya kemudian memutuskan untuk membuat program excel sendiri saja, tentu alur perhitungannya harus bersumber pada sumber yang terpercaya. Untuk itu kemudian saya memerlukan file ETABS yang sudah ada, sehingga tidak perlu memodelkan ulang dari awal untuk mendapatkan besarnya beban aksial yang akan diterima oleh pondasi. Selanjutnya, pasti laporan penyelidikan tanah akan sangat saya butuhkan untuk menentukan keefektifan penentuan kedalaman pondasi yang ada dibandingkan dengan beban aksial bangunan tersebut.

Proses pembuatan program excel Alhamdulillah tidak terlalu lama, dengan mengikuti contoh perhitungan pondasi dangkal yang ada di PPT kuliah prof.Widodo (UII) maka semua bisa terselesaikan dengan baik. Kenapa yang diambil bersumber dari materi kuliah prof.Wid, karena kebetulan tipe pondasi yang digunakan adalah Footplat+Siklop dan pada sumber tersebut sama persis perhitungan jenis pondasinya. Beginilah tampilan program excelnya:


Program Excel telah selesai, what next?
Selanjutnya adalah menjalankan program ETABS dengan membuka file yang dulu sudah pernah dikerjakan untuk kemudian selanjutnya dicek berapa beban aksial dan momen yang akan diterima oleh pondasi.

Dari hasil analisis struktur ditemukan beban aksial pada pondasi adalah sebesar 420 Ton dan momen sebesar 21.4 Tm. Selanjutnya nilai ini dapat di input kedalam program excel yang telah dibuat tadi.

.
Finally, kita masuk ke tahapan terakhir sebelum pengambilan keputusan, apa itu? Ya tentu saja dan bukan lain adalah data penyelidikan tanah. Ohiya, data tanah ini merupakan data yang memuat informasi kekuatan tanah dari hasil pengujian langsung di lokasi maupun dengan pengambilan sampel untuk kemudian dicek oleh laboratorium tanah. 

Data tanah yang di ambil pada proyek ini berupa 4 (empat) buah data sondir, dan 1 (satu) buah data bor. Apa beda keduanya? Kenapa bisa beda? Mungkin perlu pembahasan sendiri mengenai ini ya.. kalau disini akan terlalu panjang penjelasannya.

Penentuan kebutuhan jumlah sondir/bor biasanya ditentukan oleh perencana dengan mengacu pada SNI 8640 2017 tentang Persyaratan Perancangan Geoteknik. Namun, terkadang juga di dalam KAK (Kerangka Acuan Kerja) yang dibuat oleh pemberi tugas (owner) sudah tercantum jumlah sondir/bor yang harus dilakukan oleh perencana. Dalam kasus ini, saya tidak tahu yang menentukan jumlah sondir/bor adalah siapa, apakah sudah terdapat dalam KAK waktu itu ataukah murni merupakan justifikasi engineer.  




Berdasarkan keempat data sondir tersebut di atas, jika kita membagi menjadi dua yaitu elevasi kedalaman -2m dan kedalaman -3m maka akan terlihat pada tabel berikut.
Nilai tahanan konus (qc) pada kedalaman -2.00 meter memiliki nilai yang bervariasi mulai dari 20 kg/cm2 sampai yang terbesar adalah 100 kg/cm2. Kenapa bisa bervariasi? Hal ini tentu saja dikarenakan tanah itu adalah sesuatu ketidakpastian, setiap tempat dimanapun di dunia ini pasti memiliki karakteristik jenis tanah yang tidak akan pernah sama satu dengan yang lainnya. Selain itu tanah itu tidak seperti kue lapis yang mana lapisan-lapisan nya akan tersusun rapih sesuai elevasi kedalaman tertentu, melainkan bisa berbeda-beda seperti terlihat pada tabel diatas. Saya teringat akan perkataan seorang dosen sewaktu kuliah, begini kira-kira permyataannya “Sesuatu yang pasti dari tanah itu adalah suatu ketidakpastian”
Sedangkan tahanan konus pada semua titik sondir di kedalaman -3m (sesuai perencanaan) adalah sebesar 250 kg/cm2. Hal ini bisa menjadi justifikasi bahwa pada kedalaman tersebut merupakan tanah keras. Dengan harapan 4 (empat) sampel sondiri tersebut bisa mewakili data seluas area proyek tersebut.
Bagaimana dengan hasil pegujian titik bor?
Titik bor menunjukkan bahwa pada kedalaman -2,5m sudah menunjukkan tanah keras dengan nilai NSPT 50. Selain itu terlihat juga bahwa kedalam diatas 3m tanah sudah stabil sebagai dasar elevasi pondasi.
Selanjutnya adalah menggabungkan antara nilai beban aksial (P), momen (M) yang bekerja pada struktur bangunan dengan nilai kemampuan tanah dalam menerima beban atau tahanan konus (qc).
Dari tabel diatas, menunjukkan bahwa apabila pondasi diletakkan pada kedalaman -2m maka pondasi tersebut tidak akan mampu menerima beban struktur diatasnya, dan akan aman apabila diletakkan pada kedalaman -3m.
Tentu saja perhitungan diatas berdasarkan data-data yang ada, dan dari hasil perhitungan perencana adalah sebagaimana ditunjukkan oleh tabel diatas. Namun, apakah hasil diatas bisa sepenuhnya menunjukkan bahwa asumsi kontraktor adalah salah dan perencana ada benar? Tentu tidak semudah itu untuk menyimpulkan, ada banyak faktor yang bisadijadikan referensi lain kenapa hal itu bisa tejadi (perbedaan persepsi tanah keras). Berikut saya jabarkan beberapa alasannya.
1.      Keterbatasan data tanah
Bisa dikatakan jika ingin tepat sasaran, maka setiap kolom perlu dilakukan pengujian tanahnya, maka hal ini akan jauh lebih akurat, dan setiap kolom kemungkinan akan memiliki desain kedalaman pondasi yang berbeda-beda. Namun, bisa dibayangkan berapa total rupiah yang akan dihabiskan? Dalam satu bangunan pasti ada puluhan kolom, dan jarak antar kolom pun tidak terlalu jauh, oleh karena itu dengan menggunakan ilmu statistik dan melihat peluang distribusi kekuatan tanah dari jarak dan luasan maka bisa di efisiensi dengan tidak harus setiap kolom tersebut untuk dilakukan pengujian. Sebagaimana diatur dalam SNI 8640 2017, maka estimasi jumlah kebutuhan sondir/bor bisa diukur berdasarkan luasan tapak dan tinggi bangunan. Mungkin saja, ketika kontraktor melakukan penggalian tepat pada tanah tersebut dikedalaman -2m sudah keras (nilai konus yang besar) dan tepat pada titik tersebut bukanlah titik diman uji sondir.bor dilakukan. Namun, sebagai perencana dasar acuan tetaplah data dimana berdasarkan data tersebutlah justifikasi seoang engineer diambil, dan bukan berdasarkan persepsi di lapangan saja. 
2.      Alat yang digunakan kontraktor sebagai acuan tanah keras
Disini kembali lagi kepada penilaian yang subjektif jika kontraktor menyimpulkan tanah tersebut keras hanya dikarenakan alat yang digunakan sulit menembus lapisan tanah dibawahnya. Seberapa kuatkah kapasitas alat tersebut? Apakah bisa dijelaskan dengan suatu angka/parameter kekuatan tanah? Tentu tidak bisa, selain itu, apabila menggunakan penangkapan visual apakah cukup dengan melihat tanah tersebut bisa dilakukan justifikasi kekerasan suatu lapisan tanah? Tentu tidak bisa. Kenapa? Karena untuk menjustifikasi apakah tanah tersebut cukup keras haruslah dibandingkan dengan seberapa besar beban yang akan diterima oleh tanah tersebut? Jika bangunan hanya dua lantai mungkin bisa saja asumsi tanah keras tersebut tepat, tapi bagaimana dengan bangunan lima lantai? Belum tentu sama kan? Disinilah informasi beban bangunan tersebut begitu penting dan harus menjadi dasar juga dalam penentuan kedalaman pondasi selain adanya data pengujian tanah berupa sondir/bor.