Minggu, 03 Maret 2019

PERBEDAAN PERSEPSI ELEVASI PONDASI FOOTPLAT + SIKLOP KONTRAKTOR DAN PERENCANA


Saat itu bulan maret 2018, belum genap sebulan saya bekerja  sebagai seorang Engineer di sebuah perusahaan kosultan perencana. Pagi itu seperti biasa kantor masuk jam 08.00 pagi, dan saya sudah duduk di meja bersiap memulai pekerjaan. Sebagai karyawan baru dengan nol pengalaman kerja, tentu masih banyak penyesuaian yang harus saya lakukan. Belum ada gedung yang saya hitung, baru sekedar membuat laporan struktur dari hasil hitungan yang telah dihitung oleh tenaga ahli struktur. Kami di kantor, sebagai seorang junior Structural Engineer, tentu belum boleh langsung menghitung, hanya pekerjaan menyusun dan membuat laporan dan justifikasi teknis permasalahan kecil sajalah yang bisa dilakukan. Seiring membuat laporan struktur, perlahan saya mulai belajar, menelaah, mempelajari, dan mencatat apa-apa saja yang diperlukan seorang Engineer dalam menghitung bangunannya. Sehingga kedepannya saya sudah mulai bisa mandiri menghitung bangunan-bangunan gedung bertingkat, namun masih tetap dengan pengawasan dan saran-saran serta masukkan dari tenaga ahli struktur yang ada. 


Masih di hari yang sama, saya dikabarkan bahwa salah satu proyek kantor lagi terdapat permasalahan dan perlu justifikasi dari konsultan perencana. Yup, permasalahannya mengenai elevasi kedalaman pondasi yang direncanakan oleh konsultan. Jadi, menurut kontraktor, rencana kedalaman pondasi tidak bisa ditembus (digali) oleh alat kontraktor, saya tidak tahu alat yang digunakan seperti apa sehingga bisa beranggapan seperti itu, yang pastinya tanah sudah sangat keras dan mentok di kedalam -2m  (gambar rencana = -3m). 



Sebagai seorang engineer muda dengan pengalaman yang belum ada, hanya berbekal pengetahuan yang saya dapatkan di bangku kuliah, ditambah struktur bangunan ini bukan saya yang hitung, tentu keputusan pengambilan jenis pondasi, elevasi kenapa harus di kedalaman -3m dengan jumlah lantainya ada 5, tidak sama sekali saya ketahui saat itu. Tentu hipotesa awal saya mengatakan bahwa tidak mungkin penentuan -3m tanpa adanya alasan teknis yang jelas. Kalau misalnya -2m masih mampu, kenapa tidak disitu saja? Selisih 1m itu bukan perkara yang sepele, kalau dijadikan volume bisa jadi duit yang tidak sedikit kan.

Berbekal pengetahuan yang saya dapatkan sewaktu kuliah, saya mulai menyusun strategi pemecehan masalahnya. Pertama-tama saya mulai mengumpulkan sebanyak mungkin data yang bisa saya dapatkan, diantaranya:
1)      Gambar Struktur
2)      Laporan perhitungan struktur
3)      Laporan penyelidikan tanah
4)      File software Analisis struktur yang digunakan (ETABS)
5)      File Excel yang dilakukan untuk menghitung.

Karena ini merupakan proyek tahun 2017, maka saya perlu mencari dokumen kantor di tahun 2017 tersebut. For yet Information, di kantor setiap file akan disimpan berdasarkan tahun project pada server masing-masing, sehingga jika kita ingin melihat file-file ditahun sebelumnya perlu untuk masuk ke server yang berbeda terlebih dahulu. Alhamdulillah, karena masih setahun yang lalu proyek perencanaannya maka tidak terlalu sulit untuk menemukan semua file yang dibutuhkan. 

Ohiya, saya jelaskan terlebih dahulu kelima poin diatas ya..
Pertama, kenapa gambar struktur sangatlah penting, karena dari sini kita bisa lebih jelas melihat denah struktur secara keseluruhan, apakah justifikasi engineer menjadi berbeda ketika digambar oleh drafter juga akan terlihat. Untuk mengeceknya saya membandingkannya dengan laporan perhitungan struktur yang ada. Ternyata saya tidak menemukan adanya kesalahan pada proses penerjemahan informasi dari engineer kepada drafter, artinya seorang drafter tersebut telah menyelesaikan tugasnya dengan baik untuk menggambar sesuai estimasi dan perhitungan si engineer. Kemudian saya perlu membuka file Excel bagian perhitungan pondasi untuk mempelajari perhitungannya. Dari sini saya sedikit kebingunan, wajar saja karena membaca program perhitungan excel buatan orang lain itu sangat sulit dan pusing melihatnya. Mungkin karena bukan kita sendiri yang buat ya, sehingga kita tidak tahu secara detail proses perumusan yang digunakan seperti apa. Hmm… karena terlalu membingungkan dan saya juga tidak menemukan hasil apa-apa, saya kemudian memutuskan untuk membuat program excel sendiri saja, tentu alur perhitungannya harus bersumber pada sumber yang terpercaya. Untuk itu kemudian saya memerlukan file ETABS yang sudah ada, sehingga tidak perlu memodelkan ulang dari awal untuk mendapatkan besarnya beban aksial yang akan diterima oleh pondasi. Selanjutnya, pasti laporan penyelidikan tanah akan sangat saya butuhkan untuk menentukan keefektifan penentuan kedalaman pondasi yang ada dibandingkan dengan beban aksial bangunan tersebut.

Proses pembuatan program excel Alhamdulillah tidak terlalu lama, dengan mengikuti contoh perhitungan pondasi dangkal yang ada di PPT kuliah prof.Widodo (UII) maka semua bisa terselesaikan dengan baik. Kenapa yang diambil bersumber dari materi kuliah prof.Wid, karena kebetulan tipe pondasi yang digunakan adalah Footplat+Siklop dan pada sumber tersebut sama persis perhitungan jenis pondasinya. Beginilah tampilan program excelnya:


Program Excel telah selesai, what next?
Selanjutnya adalah menjalankan program ETABS dengan membuka file yang dulu sudah pernah dikerjakan untuk kemudian selanjutnya dicek berapa beban aksial dan momen yang akan diterima oleh pondasi.

Dari hasil analisis struktur ditemukan beban aksial pada pondasi adalah sebesar 420 Ton dan momen sebesar 21.4 Tm. Selanjutnya nilai ini dapat di input kedalam program excel yang telah dibuat tadi.

.
Finally, kita masuk ke tahapan terakhir sebelum pengambilan keputusan, apa itu? Ya tentu saja dan bukan lain adalah data penyelidikan tanah. Ohiya, data tanah ini merupakan data yang memuat informasi kekuatan tanah dari hasil pengujian langsung di lokasi maupun dengan pengambilan sampel untuk kemudian dicek oleh laboratorium tanah. 

Data tanah yang di ambil pada proyek ini berupa 4 (empat) buah data sondir, dan 1 (satu) buah data bor. Apa beda keduanya? Kenapa bisa beda? Mungkin perlu pembahasan sendiri mengenai ini ya.. kalau disini akan terlalu panjang penjelasannya.

Penentuan kebutuhan jumlah sondir/bor biasanya ditentukan oleh perencana dengan mengacu pada SNI 8640 2017 tentang Persyaratan Perancangan Geoteknik. Namun, terkadang juga di dalam KAK (Kerangka Acuan Kerja) yang dibuat oleh pemberi tugas (owner) sudah tercantum jumlah sondir/bor yang harus dilakukan oleh perencana. Dalam kasus ini, saya tidak tahu yang menentukan jumlah sondir/bor adalah siapa, apakah sudah terdapat dalam KAK waktu itu ataukah murni merupakan justifikasi engineer.  




Berdasarkan keempat data sondir tersebut di atas, jika kita membagi menjadi dua yaitu elevasi kedalaman -2m dan kedalaman -3m maka akan terlihat pada tabel berikut.
Nilai tahanan konus (qc) pada kedalaman -2.00 meter memiliki nilai yang bervariasi mulai dari 20 kg/cm2 sampai yang terbesar adalah 100 kg/cm2. Kenapa bisa bervariasi? Hal ini tentu saja dikarenakan tanah itu adalah sesuatu ketidakpastian, setiap tempat dimanapun di dunia ini pasti memiliki karakteristik jenis tanah yang tidak akan pernah sama satu dengan yang lainnya. Selain itu tanah itu tidak seperti kue lapis yang mana lapisan-lapisan nya akan tersusun rapih sesuai elevasi kedalaman tertentu, melainkan bisa berbeda-beda seperti terlihat pada tabel diatas. Saya teringat akan perkataan seorang dosen sewaktu kuliah, begini kira-kira permyataannya “Sesuatu yang pasti dari tanah itu adalah suatu ketidakpastian”
Sedangkan tahanan konus pada semua titik sondir di kedalaman -3m (sesuai perencanaan) adalah sebesar 250 kg/cm2. Hal ini bisa menjadi justifikasi bahwa pada kedalaman tersebut merupakan tanah keras. Dengan harapan 4 (empat) sampel sondiri tersebut bisa mewakili data seluas area proyek tersebut.
Bagaimana dengan hasil pegujian titik bor?
Titik bor menunjukkan bahwa pada kedalaman -2,5m sudah menunjukkan tanah keras dengan nilai NSPT 50. Selain itu terlihat juga bahwa kedalam diatas 3m tanah sudah stabil sebagai dasar elevasi pondasi.
Selanjutnya adalah menggabungkan antara nilai beban aksial (P), momen (M) yang bekerja pada struktur bangunan dengan nilai kemampuan tanah dalam menerima beban atau tahanan konus (qc).
Dari tabel diatas, menunjukkan bahwa apabila pondasi diletakkan pada kedalaman -2m maka pondasi tersebut tidak akan mampu menerima beban struktur diatasnya, dan akan aman apabila diletakkan pada kedalaman -3m.
Tentu saja perhitungan diatas berdasarkan data-data yang ada, dan dari hasil perhitungan perencana adalah sebagaimana ditunjukkan oleh tabel diatas. Namun, apakah hasil diatas bisa sepenuhnya menunjukkan bahwa asumsi kontraktor adalah salah dan perencana ada benar? Tentu tidak semudah itu untuk menyimpulkan, ada banyak faktor yang bisadijadikan referensi lain kenapa hal itu bisa tejadi (perbedaan persepsi tanah keras). Berikut saya jabarkan beberapa alasannya.
1.      Keterbatasan data tanah
Bisa dikatakan jika ingin tepat sasaran, maka setiap kolom perlu dilakukan pengujian tanahnya, maka hal ini akan jauh lebih akurat, dan setiap kolom kemungkinan akan memiliki desain kedalaman pondasi yang berbeda-beda. Namun, bisa dibayangkan berapa total rupiah yang akan dihabiskan? Dalam satu bangunan pasti ada puluhan kolom, dan jarak antar kolom pun tidak terlalu jauh, oleh karena itu dengan menggunakan ilmu statistik dan melihat peluang distribusi kekuatan tanah dari jarak dan luasan maka bisa di efisiensi dengan tidak harus setiap kolom tersebut untuk dilakukan pengujian. Sebagaimana diatur dalam SNI 8640 2017, maka estimasi jumlah kebutuhan sondir/bor bisa diukur berdasarkan luasan tapak dan tinggi bangunan. Mungkin saja, ketika kontraktor melakukan penggalian tepat pada tanah tersebut dikedalaman -2m sudah keras (nilai konus yang besar) dan tepat pada titik tersebut bukanlah titik diman uji sondir.bor dilakukan. Namun, sebagai perencana dasar acuan tetaplah data dimana berdasarkan data tersebutlah justifikasi seoang engineer diambil, dan bukan berdasarkan persepsi di lapangan saja. 
2.      Alat yang digunakan kontraktor sebagai acuan tanah keras
Disini kembali lagi kepada penilaian yang subjektif jika kontraktor menyimpulkan tanah tersebut keras hanya dikarenakan alat yang digunakan sulit menembus lapisan tanah dibawahnya. Seberapa kuatkah kapasitas alat tersebut? Apakah bisa dijelaskan dengan suatu angka/parameter kekuatan tanah? Tentu tidak bisa, selain itu, apabila menggunakan penangkapan visual apakah cukup dengan melihat tanah tersebut bisa dilakukan justifikasi kekerasan suatu lapisan tanah? Tentu tidak bisa. Kenapa? Karena untuk menjustifikasi apakah tanah tersebut cukup keras haruslah dibandingkan dengan seberapa besar beban yang akan diterima oleh tanah tersebut? Jika bangunan hanya dua lantai mungkin bisa saja asumsi tanah keras tersebut tepat, tapi bagaimana dengan bangunan lima lantai? Belum tentu sama kan? Disinilah informasi beban bangunan tersebut begitu penting dan harus menjadi dasar juga dalam penentuan kedalaman pondasi selain adanya data pengujian tanah berupa sondir/bor.


Kamis, 28 Februari 2019

PENJABARAN KOMBINASI PEMBEBANAN SESUAI ASCE 7-10 (SNI 1726 2012 & SNI 1727 2013)



Bismillahirrahmanirrahim

Pada kesempatan ini, ijinkan saya memuat tulisan sederhana ini. Sebenarnya niat untuk menulis sudah sangat lama terpikirkan, mungkin baru akhir-akhir ini muncul lagi dorongan yang kuat ditambah keinginan untuk berbagi keilmuan yang sedang saya geluti ini. Yup, saya merupakan lulusan Sarjana Teknik Sipil, dan sekarang aktif bekerja sebagai seorang Engineer atau kata kerennya ”Structural Engineer” pada sebuah perusahaan konsultan perencana di Yogyakarta. Walaupun masih dikatakan Junior dengan pengalaman setahun bekerja, namun banyak hal yang sudah saya dapatkan, dan tentu saja saya ingin sekali berbagi apa-apa yang bisa saya bagikan yang tentu saja tidak saya dapatkan sewaktu dibangku kuliah, semoga melalui blog ini dan tulisan-tulisan saya disini bisa bermanfaat bagi pembaca sekalian. Kedepannya, Insya Allah saya akan sering membagi sedikit demi sedikit tulisan-tulisan saya disini. 
Kali ini saya ingin mengulas mengenai salah satu produk peraturan perencanaan yang digunakan oleh para perencana/Engineers di Indonesia dalam mendesain bangunan-bangunan gedung, tapi kali ini kita akan khusus membahas mengenai kombinasi pembebanan saja.
SNI atau Standar Nasional Indonesia dengan nomor 1726 tahun 2012, merupakan standar yang mengatur perencanaan ketahanan gempa pada bangunan gedung yang mengadopsi peraturan luar ASCE (American Society of Civil Engineers) 7-10. Bisa dikatakan semua yang terdapat pada peraturan SNI 1726 2012 ini adalah hasil translate dari peraturan luar tersebut. Tentu tidak semua yang terdapat dalam ASCE 7-10 kemudian diterjemahkan kedalam peraturan SNI 1726 2012 ini, melainkan sebagian pada peraturan luar tersebut di terbitkan dalam bentuk peratuan pembebanan gedung baru sebagai SNI 1727 2013 pengganti PPURG (Pedoman Perencanaan Pembebanan Untuk Rumah dan Gedung) yang dikeluarkan pada tahun 1987. Perbedaan kedua peraturan pembebanan ini mungkin akan lebih baik dibahas dalam tulisan yang lain. 
ASCE 7-10 dengan judul kerennya “Minimum Design Loads for Buildings and Other Structures” merupakan standar yang dikeluarkan dan digunakan di United States of America. Peraturan/Code dengan 253 halaman ini, sesuai dengan namanya menjabarkan semua jenis beban dan tata cara/aturan-aturan penggunaannya mulai dari beban mati, beban hidup, beban banjir, beban hujan, sampai beban gempa dengan rinci dijelaskan dalam code tersebut.
Salah satu pasal yang dibahas dalam peraturan (codes) diatas adalah mengenai kombinasi pembebanan yang digunakan dalam tahapan analisis perencanaan gedung-gedung bertingkat. Umumnya beban yang digunakan dalam perencanaan berupa beban mati (D),beban hidup (L), dan beban gempa (E). Selain itu dalam ASCE 7-10 ini membagi kombinasi pembebanan menjadi dua yaitu metode ultimit (kombinasi beban terfaktor) dan metode ijin (kombinasi tegangan izin). 
*Istilah metode Ultimite ini terdapat dalam SNI 2726 2012, kalau dalam ASCE 7-10 menyebutnya sebagai Factor Load Strength Design, dimana dalam kombinasinya menggunakan tambahan nilai faktor.

1.      Kombinasi beban untuk metode ultimit/beban terfaktor

ASCE 7-10 à Lihat bab 2 pasal 2.3 hal 7

SNI 1726 2012 à Lihat Pasal 4.2.2 hal 15

SNI 1727 2013 à Lihat Pasal 2.3 hal 11

Komponen elemen struktur dan fondasi harus dirancang hingga kuat rencananya sama atau melebihi pengaruh beban-beban terfaktor berikut.

1)      1,4D

2)      1,2D + 1,6L + 0,5(Lr atau R)

3)      1,2D + 1,6(Lr atau R) + (L atau 0,5W)

4)      1,2D + 1,0W + L + 0,5(Lr atau R)

5)      1,2D + 1,0E + L

6)      0,9D + 1,0W

7)      0,9D + 1,0E

2.      Kombinasi beban untuk metode ijin/tegangan ijin

ASCE 7-10 à Lihat bab 2 pasal 2.4 hal 8

SNI 1726 2012 à Lihat Pasal 4.2.3 hal 16

SNI 1727 2013 à Lihat Pasal 2.4 hal 13

1)      D

2)      D + L

3)      D + (Lr atau R)

4)      D + 0,75L + 0,75(Lr atau R)

5)      D + (0,6W atau 0,7E)

6)      D + 0,75(0,6W atau 0,7E) + 0,75L + 0,75(Lr atau R)

7)      0,6D + 0,6W

8)      0,6D + 0,7E
Dari kedua metode tersebut diatas, yang lebih familiar digunakan oleh banyak perencana kita adalah metode ultimit/beban terfaktor, Entah kenapa, saya belum menemukan ada yang menggunakan metode tegangan izin (Allowable Stress Design). Jadi, disini saya akan menjelaskan atau menjabarkan mengenai kombinasi beban pada metode 1 yang terdapat pada peraturan-peraturan diatas.
Jika kita lihat kembali pada ketujuh kombinasi beban tersebut terdapat kode D, L, Lr, R,E, dan W. Apa yang dimaksudkan oleh masing-masing kode itu? Apakah harus menggunakan semuanya? Baiklah kita tela’ah satu persatu. 
Penjelasan mengenai kode beban itu dapat dilihat pada ASCE 7-10 atau pada SNI 1727 2013 bab 2.2. Merujuk pada kedua peraturan itu disebutkan bahwa:
1)      “D” merujuk pada kata “Dead Load”, yaitu semua beban yang menempel/menetap pada bangunan/struktur. Seabagai contoh jika kita punya balok beton bertulang ukuran 40x60 cm dengan panjang 6m dan berat jenis di ambil 2.4 Ton/m3 maka balok tersebut memiliki berat atau beban mati sebesar 0,4 x 0,6 x 6 x 2,4 = 3.456 Ton atau 3456 kg. Beban ini kemudian akan kita kategorikan sebagai beban mati (Dead Load) dalam perhitungan selanjutnya.

Selain itu juga ada beban Additional Dead Load (ADL) yang merupakan bagian dari beban mati tetapi perlu kita bedakan dengan beban mati (Dead Load) di atas. Kenapa dibedakan? Ya, tentu karena ketika dalam SAP/Etabs yang dimodelkan hanya model struktur balok/kolom/pelat dimana kesemua itu akan menjadi beban mati sendiri (selfweight) yang dihitung otomoatis oleh SAP/Etabs. Sedangkan beban mati tambahan (additional dead load) yang tidak dimodelkan perlu kita definisikan tersendiri. Yang dimaksud dengan beban tambahan disini seperti beban finishing lantai (pasir,mortar, tegel) atau beban lainnya diluar struktur utama yang menempel menjadi satu dengan gedung tersebut.

2)      “L” merupakan “Live Load”, yaitu semua beban bergerak sesuai fungsi kebutuhan ruangan tersebut. Nah, salah satu perbedaan pertauran pembebanan lama PPURG dan peraturan baru SNI 1727 2013 atau ASCE 7-10 adalah pada penentuan beban hidup ini. Pada peraturan lama perencana hanya perlu mengetahui fungsi bangunan secara keseluruhan, misalnya bangunan perkuliahan, maka semua beban hidup pada bangunan akan dibuat sama sesuai fungsi gedung itu. Berbeda dengan peraturan baru, maka pemberian beban hidup akan lebih diperinci kepada fungsi ruang yang digunakan. Hal ini tentu akan lebih baik, karena dalam sebuah gedung perkuliahan, tentu tidak semua ruang atau area adalah ruang kuliah, melainkan terdapat ruang-ruang lain guna menunjang fungsi bangunan tersebeut secara keseluruhan seperti adanya ruang kantor untuk dosen, karyawan, adanya area selasar, ruang gudang, ruang perpustakaan, dan lain sebagainya. Bayangkan saja jika semua ruangan itu disamakan sebagai ruang kuliah, maka apabila terdapat ruang perpustakaan atau ruang pertemuan yang memiliki beban hidup lebih tinggi tentu akan tidak aman bukan? 

Berikut saya lampirkan perbedaanya.
Beban Ruang Kuliah (dalam peraturan disebut ruang Kelas)


















Beban hidup pada ruang kelas mengacu pada peraturan diatas adalah sebesar 40 psf atau 1,92 kN/m2.

Sekarang kita bandingkan dengan ruang pertemuan. 



























Terlihat jelas kan perbedaannya? Ya, itulah mengapa menggunakan peraturan terbaru ini akan lebih rinci dan detail sesuai fungsi ruang/area yang akan digunakan nantinya. 
3)      Lr = “Roof Live Load”, Beban atap, sama halnya seperti beban hidup, beban atap ini adalah beban yang akan berada pada atap. Tidak semua bangunan memiliki atap yang sama, ada yang menggunakan atap berbentuk seperti limasan yang tentu dengan beban perencanaan kuda-kuda dan sebagainya, namun ada juga yang memfungsikan atapnya sebagai dak dengan pelat beton dengan tujuan dimanfaatkan sebagai area taman atau lainnya sesuai keinginan owner/user.

4)      R = “rain load”, atau beban hujan merupakan beban yang akan digunakan dalam perencanaan atap. Sebenarnya beban hujan ini biasanya bisa diabaikan karena pengaruhnya yang tidak terlalu signifikan terhadap struktur beton. Biasanya akan digunakan pada perencanaan atap atau bagian yang lain yang rentan terhadap pengaruh beban air hujan.

5)      W = “wind load”, atau beban angin, nah beban ini emang sangat perlu diperhatikan secara khusus, apalagi pada daerah yang memiliki potensi angin yang sangat kuat, maka struktur langsing seperti baja terutama pada atap perlu dipertimbangkan. Banguan dengan material beton mungkin tidak akan terlalu signifikan terhadap beban yang satu ini, tetapi bangunan dengan struktur baja atau bangunan dengan ketinggian yang sangat tinggi (dimana semakin tinggi maka kecepatan angin akan sangat kuat) perlu pertimbangan khusus terhadap beban ini. 

6)      E = “Earthquake Load”, This is, beban yang potensi nya sangat besar dan berpengaruh di negara kita Indonesia. Yup, tentu saja negara kita yang dikelilingi oleh cincin api, pertemuan lempeng dunia, dan banyaknya sesar-sesar aktif bertebaran semakin menambah resiko/kerentanan terhadap kejadian gempa. Dengan terbitnya peta gempa terbaru yang dirilis tahun 2017 kemarin membuktikan bahwa kerentanan gempa di negara kita semakin besar dengan banyaknya sesar aktif baru yang ditemukan. Oya, pada SNI 1726 2012 ini masih mengacu pada peta gempa 2010, sedangkan peta gempa 2017 ini sudah dimuat pada rancangan SNI terbaru atau RSNI2 1726 201X sebagai pengganti SNI 1726 2012 yang lama. RSNI yang baru ini akan lebih update terhadap peraturan utamanya yaitu ASCE 7-16, angka 16 menunjukkan tahun dirilisnya peraturan ini sebagai pengganti ASCE 7-10. Mungkin, dilain kesempatan perlu juga dibahas mengenai rancangan SNI yang baru ini. Wait…Saya pelajari dulu ya hehe. Soalnya banyak banget klien yang bertanya-tanya apakah bangunan lama yang sudah dirancang dan dibangun dengan peraturan lama masih mampu atau aman dengan peraturan baru? Hmm… tentu menarik, perlu dikaji lebih lagi letak perbedaannya dimana saja dan apa pengaruhnya, signifikankah? Jika ternyata signifikan berbeda dan bangunan sudah berdiri, terus apa solusi yang harus diambil? Okay pertanyaan ini tentu tidak bisa dijawab sekarang, perlu dikaji dan ditelaah. Namun menurut hemat saya, pengaruh yang sangat signifikan mungkin akan terjadi pada wilayah/area yang memiliki dampak dari peta gempa cukup besar, karena tidak semua wilayah di Indonesia ini terkena dampak dari perubahan peta gempa itu loh.. coba saja dicek dan dibandingkan nilai percepatan gempanya terus dibuat kajian khusus, pasti menarik dan bermanfaat. Nah yang ini bagus banget buat kalian yang bingung mikirin judul Tugas Akhir/Skripsi hehe, bisa dijadikan rujukan kan hehe. 

Oke… cukuplah panjang lebar penjelasan diatas sampai lupa kalau kita sedang khusus membahas kombinasi beban pada peraturan SNI 1726 2012 atau ASCE 7-10 ini hehe.

Sesuai penjelasan diatas, kini kita bisa ketahui bahwa beban yang umum digunakan dalam perencaaan gedung bertingkat untuk struktur beton di negara kita ini adalah beban mati (D), beban hidup (L), dan beban gempa (E). Sehingga kombinasi dari ketiganya perlu dijabarkan lagi sesuai aturan yang berlaku.

Let’s check again and checklist it.

Kombinasi Dasar:

1)      1,4D

2)      1,2D + 1,6L + 0,5(Lr atau R)

3)      1,2D + 1,6(Lr atau R) + (L atau 0,5W)

4)      1,2D + 1,0W + L + 0,5(Lr atau R)

5)      1,2D + 1,0E + L

6)      0,9D + 1,0W

7)      0,9D + 1,0E

Kenapa saya beri tanda , karena yang nggak di checklist telah tereleminasi oleh kombinasi yang saya checklist. Kenapa demikian? Berikut kira-kira penjelasanya
·         Kombinasi Beban Mati à         : diambil sebagai kombinasi untuk beban mati sendiri tanpa ada pengaruh beban lainnya dengan faktor beban sebesar 1,4 yaitu poin no 1) 
Comb 1 = 1,4D                                                          

Poin no 9) juga jika diabaikan faktor beban anginnya (W) maka juga menjadi beban mati sendiri, namun karena diambil yang terbesar maka kombinasi yang diambil adalah tetap pada poin no 1)

·         Kombinasi beban Mati + beban Hidup : merupakan kombinasi dari beban mati dan beban hidup, sedangkan beban roof, hujan dan angin bisa diabaikan karena hanya digunakan pada perencanaan atap. Sehingga dari kombinasi dasar poin no 2), 3) dan 4) jika kita eleminasi beban selain D dan L akan menjadi sebagai berikut.

2) 1,2D + 1,6L + 0,5(Lr atau R)                           à 1,2D + 1,6L

3) 1,2D + 1,6(Lr atau R) + (L atau 0,5W)            à 1,2D + L

4) 1,2D + 1,0W + L + 0,5(Lr atau R)                   à 1,2D + L

Kemudian dari hasil eleminasi beban tersebut maka dapat diambilah yang terbesar yaitu 1,2D + 1,6L sebagai bentuk kombinasi kedua (Combo 2).

Comb 2 = 1,2D + 1,6L                                              

·            Kombinasi beban gempa: Setelah sebelumnya beban gravity telah dikombinasikan antara beban mati dan beban hidup, maka selanjutnya adalah kombinasi untuk beban gempa. Untuk tipe kombinasi gempa yang cocok dari ketujuh kombinasi dasar adalah pada poin 5) dan poin 7)

Berdasarkan ASCE 7-10 halaman 84 pasal 12.4 (di SNI 1726 2012 halaman 47) SEISMIC LOAD EFFECTS AND COMBINATION dapat dijabarkan dengan rinci untuk kombinasi terhadap beban gempa yang ada. Selain itu, ASCE 7-10 juga membagi kombinasi gempa menjadi dua yaitu pengaruh terhadap gempa horizontal (Eh) dan gempa vertikal (Ev). 

Pasal 12.4.2 dalam ASCE 7-10 merumuskan:

-          Untuk kombinasi dasar poin 5) maka nilai gempa (E) dapat dijabarkan sebagai berikut.

E = Eh + Ev
                                    Sedangkan untuk poin 7) maka nilai E dijabarkan sebagai berikut.

E = Eh – Ev

Sehingga persamaan gempa diatas untuk pengaruh Eh dan Ev dapat disubtitusikan kedalam kombinasi pada poin 5) dan 7) menjadi berikut ini.


                 Poin 5)            = 1,2D + 1,0E + L

                                         = 1,2D + 1,0 (Eh + Ev) + L                    

                 Poin 7)            = 0,9D + 1,0E

                                         = 0,9D + 1,0 (Eh - Ev)                       


Selanjutnya untuk gempa horizontal dan gempa vertical ASCE 7-10 merincikan lagi dalam pasal 12.4.2.1 dan pasal 12.4.2.2 dengan persamaan sebagai berikut.

·         Untuk gempa horizontal

Eh = ρQE                                                                                                             

Dimana nilai ρ adalah faktor redundansi, sedangkan QE adalah beban gempa horizontal dari nilai V yang dihitung pada ekivalen statik maupun dinamik respons spectrum di awal perencanaan.

·         Untuk beban verikal

Ev = 0,2SDSD                                                                   
Dimana nilai SDS adalah percepatan respons desain pada periode pendek (bisa lihat nilai ini pada peta gempa maupun dari website


Kemudian kedua persamaan diatas dapat disubtitusikan kedalam persamaan  berikut.

Ø  Pers.1           = 1,2D + 1,0 (Eh + Ev) + L   

                                                            = 1,2 D + 1,0 (ρQE + 0,2SDSD) + L

                                                            = 1,2 D + ρQE + 0,2SDSD + L

                                                            = (1,2 + 0,2SDS)D + ρQE + L             

                                                Nilai (1,2 + 0,2SDS) bisa diberi notas ‘a’, sehingga menjadi
                                                Comb 3 = aD + ρQE + L                                              
Ø  Pers.2           = 0,9D + 1,0 (Eh - Ev)

                                                            = 0,9D + (ρQE - 0,2SDSD)

                                                            = (0,9 - 0,2SDS)D + ρQE                                                

                                                Nilai (0,9 - 0,2SDS) bisa diberi notasi ‘b’, sehingga menjadi
                                                Comb 4 = bD + ρQE                                                            

Well… sekarang kita urutkan lagi kombinasi-kombinasi beban yang sudah dijabarkan diatas ya.
1.      Comb 1     : 1,4D

2.      Comb 2     : 1,2D + 1,6L

3.      Comb 3     : aD + ρE+ L

4.      Comb 4     : bD + ρE          

*Ket : Q= E
Apakah sudah cukup sampai disitu? Belum. Karena beban gempa gerakannya ke segala arah, tentu untuk mempermudah dalam analisis kita bagi menjadi dua bagian yaitu gempa arah-X dan gempa arah-Y. 
Sehingga kombinasi nya menjadi:
1.      Comb 1     : 1,4D
2.      Comb 2     : 1,2D + 1,6L
3.      Comb 3     : aD + ρEx+ ρEy+ L
4.      Comb 4     : bD + ρEx + ρEy          
Arah gempa itu tentu ada yang menjadi arah utama, yang mana salah satu arah akan lebih dominan dan yang lainnya adalah arah sekunder. Namun, karena kita tidak akan pernah tahu arah mana yang akan menjadi arah utama nya gempa, maka untuk kedua arah perlu dikombinasikan terlebih dahulu dengan mengambil arah utama sebesar 100% dan arah sekunder (tegak lurus arah utama) adalah diambil hanya sebesar 30% nya. 
Penentuan kenapa menggunakan nilai 100% gempa utama dan 30% arah tegak lurusnya saya temukan pada PPTGIUG 1983 yang dijelaskan dengan rinci dalam artikel berjudul “Perencanaan Gedung Tahan Gempa” oleh Prof. Mochammad Teguh (ini linknya : https://media.neliti.com/media/publications/121440-ID-perencanaan-gedung-tahan-gempa.pdf
Mengacu pada penjelasan diatas, maka kombinasi pembebanan diatas bisa kita jabarkan lagi sebagai berikut ini.
1.      Comb 1     : 1,4D
2.      Comb 2     : 1,2D + 1,6L
3.      Comb 3     : aD + 100%ρEx+ 30%ρEy+ L
4.      Comb 4     : aD + 30%ρEx+ 100%ρEy+ L
5.      Comb 5     : bD + 100%ρEx + 30%ρEy
6.      Comb 6     : bD + 30%ρEx + 100%ρEy
Keenam kombinasi beban diatas bisa digunakan dalam analisis struktur bangunan bertingkat baik dengan metode statik maupun dinamik (respons spektrum). Khusus untuk bangunan tinggi (high rise building) perlu diperhatikan faktor beban angin yang mana kecepatannya akan sangat berpengaruh di tingkat paling atasnya.

           

Yogyakarta, 1 Maret 2019



M. Irfan Marasabessy
Structural Engineer